Seruling Sakti Jilid 122

Seruling Sakti

Episode: Elegi Perguruan Naga Batu

Oleh: Didit Setiawan Andrianto

(Sumber: serulingsakti.wordpress.com)

—ooOoo—

122 – Domino Effect : … akhir sebuah awal – C

Seruling Sakti - Elegi Perguruan Naga BatuGemilang mentari pagi disambut ragam kicau burung. Di sebuah jalanan pinggir hutan, ada dangau yang dibuat alakadarnya oleh sang pemilik tanah. Terdengar bangku berderit perlahan menerima guncangan tubuh gemuk lelaki berwajah bundar, dia Tusarasmi. Orang ini duduk dengan menggoyang kaki. Wajah bundar Tusarasmi, dikuti bentuk tubuh yang juga tambun, menjadikan kakinya terlalu pendek untuk menjangkau tanah, tapi kondisi demikian malah lebih nyaman. Mulutnya sibuk mengunyah biji bunga matahari.

Di hadapan si wajah bundar sudah duduk empat orang, Penjual Aren, Pemancing, Pande Besi, dan lelaki usia akhir empat puluh tahun. Saat datang, dia masih memakai kerudung penutup wajah. Ketika duduk bersama para koleganya, dia membuka penutup kepala. Semua orang menahan nafas saat melihat wajah itu. Sebuah luka memanjang dari dahi hingga dagu, membelah hidung tepat di tengah secara rapi. Luka itu sudah menutup, tapi bekas yang tertinggal membuat orang lain merasa seram.

“Kalian tentu sudah tahu kenapa kita berada di sini?” kata lelaki bercodet itu membuka percakapan.

Hening, tak ada jawaban. Tapi semua orang mengangguk.

“Perintah sudah turun kepada kita. Aku akan membagi berdasarkan keahlian masing-masing,” katanya dengan suara dingin. Lelaki ini beranjak menjauh dari orang-orang itu, dari balik pohon besar dia mempersiapkan segalanya, lalu membuka gulungan rontal.

“Tusarasmi,” sebutnya memanggil si wajah bulat itu, dengan terburu-buru dia turun dari kursinya dan memburu ke arah si codet. “Kau akan bertindak sebagai Ketua Satu, daerah operasimu ada di Kerajaan Kadungga. Lakukan hubungan secara rutin dengan tuanku Anusapatik, setiap perintahnya merupakan tugasmu,” katanya lirih.

Lalu dilemparkan sebuah benda ke arah lelaki itu. Sebuah lencana terbuat dari emas sebesar jempol dengan bentuk lonjong, ada lambang berbentuk ”X” di tengahnya tertulis angka 1. “Ini, daftar anak buahmu yang tersebar di wilayah Kerajaan Kadungga, mereka tidak melihat orang, mereka hanya melihat lencana.”

Tusarasmi menerima gulungan itu dengan takzim, mendapat tanda untuk pergi dari lelaki bercodet membuatnya segera berlalu tanpa menunggu lagi.

“Benconapaya!” si codet memanggil dengan suara keras, membuat Pande Besi itu bergegas mendekat. “Kau sudah tahu harus kemana?”

Pande Besi yang di sebuat Benconapaya mengangguk.

“Perkumpulan Pratyantara bagi kebanyakan kalangan persilatan, hanya dianggap sebagai perkumpulan penjambret berkelas. Tapi, sebagian besar kabar-kabar aneh yang beredar di dunia persilatan, merekalah yang pertama tahu. Bertindaklah dengan hati-hati, kemungkinan besar, bukan hanya kau yang menyusup. Pratyantara bagaikan primadona di antara telik sandi kelompok lain,” terang si codet dengan nada rendah.

“Jung Simpar sangat pintar dalam membuat anak buahnya bekerja, kau tentu tahu apa alasanmu harus ke sana?”

Benconapaya mengangguk lagi masih membungkam, tangannya terkepal erat.

Si codet tersenyum dingin. “Kau memiliki dendam pada Jung Simpar, tapi aku harus mengingatkanmu. Nyawanya sangat berharga, camkan itu!”

Pande Besi gadungan itu tercenung sesaat. “Apakah tuan izinkan aku membunuh orang-orang yang tiada kaitannya dengan Jung Simpar?”

“Selain Jung Simpar, seluruh orang di dalam perkumpulan itu kau bunuh-pun aku tak keberatan.”

Terlihat seringai bagai serigala di bibir Benconapaya, seperti halnya Tusarasmi, dia memperoleh lencana nomor dua, artinya dia bertindak sebagai Ketua Dua, gulungan rontal berisi catatan nama-nama anak buahnya juga didapat.

Si codet tak lantas memanggil yang lain, dia menatap punggung Benconapaya hingga menghilang ditelan turunan jalan. Ada sedikit rasa simpati terhadap orang itu. Dia memiliki kemahiran membunuh tanpa perlu mengotori tangannya, atas alasan itu pula-lah yang membuatnya disebut Benconapaya—si akal keji. Dendamnya pada Jung Simpar terdengar remeh, dia hanya kalah bersaing mendapatkan perempuan. Tapi menjadi sebuah karat dendam manakala perempuan yang disukai, digunakan oleh Jung Simpar untuk mengeruk habis-habisan kekayaannya, menipu rontal kitab-kitab ilmunya, bahkan pernah membuat kejantanannya tak berfungsi selama sepuluh tahun!

Selama sepuluh tahun yang penuh penderitaan, Benconapaya menjadi sosok yang sangat dingin dalam urusan nyawa. Sekalipun kau adik kandungnya, saat dia membutuhkan nyawamu untuk keperluannya, Benconapaya tak akan ragu menghabisimu.

“Subhaga!” nama si pemancing sudah dipanggil, membuat rekannya si Penjual Aren berkerut kening, dia tidak mengharapkan namanya dipanggil terakhir. Sebab beberapa puluh tahun terakhir, dialah yang mengendalikan Subhaga.

Si pemancing duduk dengan takzim di hadapan si codet. “Kau mendapatkan racun lagi?” tanya si codet saat menyaksikan langkah berat si pemancing.

“I-iya…” jawabnya dengan suara lirih.

Si codet mengambil tabung bambu dari balik bajunya. “Mulai sekarang, kau bebas. Kaupun akan merasa berbeda…” Katanya sambil menyerahkan sebutir pil sebesar ujung kelingking.

Subhaga menerima dengan gemetar, tidak menunggu lama, dia mengunyahnya, dan menelan dengan susah payah. Si codet tersenyum dingin, di sela-sela pekerjaan seperti ini kadang-kadang dirinya bisa menemukan hiburan. Saat kau bisa mengikat loyalitas orang lain, itu menjadi kesenangan tersendiri. Si codet bisa menjamin, Subhaga bisa berkorban nyawa untuknya.

“Kau menjadi Ketua Tiga, wilayah kerjamu khusus Kota Pagaruyung. Ini adalah hal-hal yang akan kau kerjakan,” katanya menyerahkan gulungan kulit kambing.

Subhaga membukanya, matanya berbinar. “Baik!” sahutnya tegas.

Membawahi orang-orang dengan tingkatan ketua enam sampai ketua sepuluh, lengkap dengan anak buah masing-masing membuatnya, luar biasa bersemangat. Sebelum dirinya harus hancur lebur oleh pemilik Pedang Tetesan Embun, kemampuan Subhaga bisa disejajarkan dengan para ketua enam belas perguruan utama.

Kemahiran paling menonjol adalah mengorganisasi sumber daya manusia, dia sangat bisa menempatkan orang menurut kemampuan, bahkan terkadang menarik kemampuan terpendam para anak buah hingga mencapai titik optimal. Tidak ada yang menakutkan dari kemampuan tersebut. Kecuali, karena semua begitu lancar tanpa hambatan, membuat Subhaga lupa diri, membuatnya merasa bisa menaklukkan dunia persilatan. Atas ambisi yang tidak biasa ini, dirinya luluh lantak di tangan Pemilik Pedang Tetesan Embun.

Subhaga berjalan perlahan hingga akhirnya berhenti sesaat di depan si Penjual Aren, pada setiap langkahnya, hawa sakti membubung, menembus titik-titik yang terbelenggu dua puluh tahun lampau.

Wajah si Penjual Aren berkerut tak senang, dia bukan orang buta, apa yang dilakukan Subhaga adalah pamer kemampuan untuk berkata; kau tidak layak lagi memerintahku.

Tiap langkah Subhaga membangkitkan hawa murni yang kian bergejolak liar, menerjang setiap sudut syaraf, membangkitkan kekuatan yang pernah menjadi andalannya. Saat tubuhnya lenyap dari pandangan si Penjual Aren, semangat Subhaga telah pulih total.

Si codet menghampiri Penjual Aren. “Kau, ikuti aku!” desisnya tanpa banyak bicara, lalu melesat begitu cepat.

Hal itu cukup membuat Penjual Aren tertegun, tak sempat bertanya, dia pun mengikuti dengan ketat. Di sepanjang jalan, hatinya bertanya-tanya; ‘apakah aku bersalah? Sampai-sampai tidak mendapatkan tugas tertentu?’

Saat si codet menghentikan langkah di sebuah gerbang, si Penjual Aren bisa membaca tulisan itu. Perkampungan Menur. Suasana sangat senyap, membuat si codet mengerutkan kening. Mereka bergegas masuk ke dalam melalui gerbang yang tak tertutup itu. Dalam perkampungan tak ada satu pun orang terlihat, begitu lengang. Dua hari yang lalu si codet pernah datang ke perkampungan ini, dan saat itu semua terlihat normal.

Si codet memberi isyarat kepada Penjual Aren untuk memeriksa. Keduanya bergerak ke seluruh penjuru untuk memeriksa kemungkinan informasi yang bisa didapatkan.

Tak berapa lama kemudian, si Penjual Aren sudah menghampiri si codet. Dia membawa sepasang pedang dengan ketebalan yang tidak biasa. Si codet memeriksa pedang itu.

“Apa ini?” Tanya si codet.

Tentu saja si Penjual Aren tahu maksud pertanyaan itu, si codet tidak bertanya karena bentuknya, tapi kenapa ada pedang seperti itu di Perkampungan Menur.

“Pedang ini tidak memiliki inisial siapa yang membuat, seperti yang biasa dibuat Perkampungan Menur. Tapi dari kekerasannya yang belum optimal, ini belum terlalu lama dibuat. Logam pembentuknya termasuk dari jenis paling baik, aku bisa memastikan bahan dasar ini masih bisa didapat di seputar Kota Skandhawara. Ada tiga jenis pemasok, dua diantaranya aku kenal, dan mereka tidak memiliki bahan seperti ini. Tinggal memastikan yang satunya. Kesimpulan sementara, pedang ini dibuat di sini.”

Si codet mengerutkan kening. “Ada berapa jenis pedang seperti itu?”

“Hanya dua ini saja.” Jawab si Penjual Aren.

“Apakah ada sisa bahannya?”

“Ti-tidak.”

“Jadi, apakah kesimpulanmu itu masih mungkin?”

Penjual Aren ini tergugu. “Ti-tidak… rasanya, tidak,” sahutnya tergagap.

Si codet sangat mudah mengkoreksi kesimpulannya. Mungkin dengan dia diharuskan mengikuti si codet, akan mendapatkan pengetahuan baru. Ini cukup menghiburnya.

“Menurutmu, kenapa banyak senjata berpatahan di sini?” pertanyaan si codet seperti menguji, membuat Penjual Aren harus hati-hati menjawab.

“Kurasa, ini seperti pengujian… anggap saja pihak lain atau katakanlah orang dalam perkampungan ini sendiri yang menguji tingkat kekerasan senjata-senjata mereka. Nyatanya tak ada satu pun yang bertahan dalam satu tebasan.”

Si codet manggut-manggut. “Apa kau tidak melupakan satu hal penting?”

Penjual Aren mengerutkan kening. “Ah ya, tidak adanya jejak-jejak kaki pada bangkai senjata. Orang yang menghancurkan senjata ini pasti memiliki kemahiran tinggi.”

“Bisa kupastikan, bukan orang dalam perkampungan,” gumam si codet. “Lanjutkan…”

Lelaki bernama asli Tuhagana ini mengerutkan kening. “Ya-ya.. kesimpulanku tadi salah besar. Ada orang datang kesini melakukan teror. Bisa kita tinjau dari lenyapnya seluruh penghuni perkampungan ini.”

Si codet membenarkan. “Kau belum melihat reruntuhan bangunan, coba kau periksa,” perintahnya, membuat Tuhagana segera bergegas. Meski dirinya cukup teliti, ternyata si codet jauh melebihinya.

Tuhagana memeriksa reruntuhan yang meranggas gosong, namun tiap serpihan kayu bangunan itu ternyata luar biasa keras. Pilar bangunan yang memiliki pecahan serpihan dalam besaran sama, hanya ada dua. Artinya orang itu sengaja menghancurkan pilar penyangga bangunan untuk membuatnya runtuh.

“Aku tidak tahu jenis ilmu apa yang menghancurkan pilar kayu ini,” gumamnya setelah berhadapan kembali dengan si codet.

“Tak usah salahkan dirimu. Ilmu di dunia ini memang sangat luas,” kata si codet menerawang salah satu serpihan kayu. “Ada dua jenis ilmu di sini, aku bisa memastikan pukulan penghancur yang dipenuhi unsur api, segera diredam dengan pukulan dingin. Bukan sembarang pukulan dingin yang bisa diuapkan suhu, namun dingin yang membekukan dengan menguatkan unsur paling lemah. Arang yang lemah digubah membatu…”

Tuhaguna tercekat. ”Apakah yang melakukannya satu orang atau lebih? Lalu pukulan macam apa itu?”

Si codet terdiam, pada masa lalu dirinya sempat disebut orang dengan julukan Mahaprajna, namanya sendiri memang Prajna. Berhubung karena kepintarannya, orang menambah nama dengan Maha. Tapi, munculnya Sadhana membuatnya dia jungkir balik, analisis sang Serigala lebih tajam dan lebih mumpuni ketimbang dirinya. Tokoh-tokoh terhormat lebih suka berbicara kepada Sadhana, dan sisanya—orang-orang kalangan rendahan, lebih mencari dia. Karuan saja kondisi ini membuat dirinya marah, dengan semangat tinggi ditantangnya Serigala untuk bertarung, yang akhirnya menjadi penyesalan mendalam bagi Prajna. Sebuah luka yang tidak mungkin hilang menjadi identitas baru. Mahaprajna menghilang, berganti nama dengan sebutan Ekajâti. Si codet menghukum dirinya dengan sebutan untuk kalangan sudra— Ekajâti, terlahir sekali lagi menjadi kalangan rendah. Nama Ekajâti sebagai peringatan baginya untuk selalu mengejar kemampuan Sadhana.

Kini, pertanyaan Tuhagana membuat gerahamnya menggembung—kesal! Saat ini dia tidak bisa menjawab, dan itu membuatnya seperti dihantui bayangan Sadhana yang tengah tersenyum mengejek. “Aku.. tidak tahu.” Jawab Ekajâti jujur menekan kekesalan. “Tapi bisa kusimpulkan orang ini bukan dari keluaran perguruan utama. Ada kemungkinan dia pemegang ilmu mustika.”

“Kurasa untuk mempersempit hal ini, kita bisa melacak dari pemasok terakhir.”

“Tidak perlu, itu bisa menyusul nanti,” ujar Ekajâti menggeleng. “Aku menemukan satu telik sandi, kita akan mengikuti ini.”

Keputusan sudah dibuat, namun rasanya Tuhagana masih belum puas. “Jika anda tidak keberatan, aku bisa mengerahkan kekuatan yang sudah kuhimpun di perbatasan timur Kota, untuk memastikan.”

Ekajâti tersenyum tipis. “Seharusnya itu sudah kau lakukan, tanpa harus bertanya padaku. Pergerakan kita harus efektif.”

Lelaki bercodet ini lalu menjelaskan pada Tuhagana tentang jenis dan kegunaan simbol yang dia temukan. Ekajâti menyatakan supaya Tuhagana mengikuti tanda-tanda itu.

Tak menunggu lebih lama, mereka berpisah jalan. Ekajâti mengikuti telik sandi, yang sejak awal Jalada sudah mengikuti orang yang membuat sandi tersebut. Tuhagana berkelebat cepat menuju pusat kota.

Mereka begitu bersemangat bergerak, tanpa sadar sudah menjadi bidak rencana Jaka Bayu. Kosongnya Perkampungan Menur, dan Pedang yang sengaja ditinggal, lalu sandi yang akan tercipta karena kondisi panik… semua sesuai rencana Jaka. Cara pemuda itu ‘memintal’ memang unik, ‘bulu domba’ memang akan segera dipintal, dan biasanya tidak pernah lepas dari ‘kotoran’ yang menempel pada bulu. Ekajâti sekalian sebagai ‘kotoran’, entah akan digunakan atau tidak oleh Jaka, semua tinggal menunggu waktu pula. Menunggu hasil akhir dari rencana Keluarga Keenam yang sudah mendapat undangan resmi dari pihak kerajaan.

===o0o===

Pagi itu di pusat Kota Skandhawara sangat semarak dalam keheningan. Bagaimana itu bisa terjadi? Hening karena tidak ada satupun orang yang berani keluar rumah. Semarak, karena setiap pintu rumah, dalam radius dua pal dari istana ada prajurit berjaga, jalanan begitu lengang.

Tuhagana menyumpah panjang pendek, setiap pejalan kaki yang memasuki radius dua pal, langsung diarahkan untuk menyingkir menjauh. Kondisi seperti ini membuat orang-orang yang ditanam di sekitar kota jelas tidak bisa berkutik. Untuk menyelinap di pagi hari seperti ini jelas tidak bisa dilakukan. Mau tak mau, Tuhagana hanya bisa mengamati situasi, dia tahu jika kondisi seperti ini diberlakukan, pasti ada kejadian penting di istana, dan kalangan istana sedang bersiap-siap menyambut tamu.

Lelaki ini sudah tinggal di Kota Skandhawara itu selama dua puluh tahun. Seingatnya, dalam kurun waktu tersebut, hanya ada empat kali kejadian serupa saat ini. Tapi di masa lalu, pengamanan para prajurit pun hanya berlaku tak lebih dari setengah pal wilayah istana. Diam-diam timbul rasa ingin tahu Tuhagana.

Dia bergerak menjauh, mengharap ada salah satu dari anak buahnya memberikan tanda. Dan tanda itu ditemukannya menjauh dari pusat kota, mengarah tepat ke pondokan di dalam komplek kolam ikan. Tuhagana tidak melihat adanya perubahan pada tanda yang sudah disepakati, ini membuatnya yakin.

Tapi, manakala dia akan masuk ke dalamnya, sesaat dia merasa ragu. Intuisinya menyatakan ada bahaya di depan sana. Tuhagana membalikkan badan… dan nyaris saja dia berteriak kaget saat di belakangnya ada orang yang tengah menggendong tangan.

“Kau mau masuk?” tanya lelaki paruh baya itu.

“I-iya…” Tuhagana cepat tanggap menjawab dengan menggeregap, “Sa-saya ingin menawarkan air aren ke dalam.”

Ya, sehari-harinya dandanan Tuhagana memang seperti orang nderes air nira, dengan dua bumbung bambu besar digendong.

“Kenapa harus jauh-jauh kemari?” tanya orang itu dengan kening berkerut.

“Soalnya, pusat kota tak bisa dimasuki, supaya bisa balik modal untuk hari ini, ya.. saya tawarkan ke siapa saja…”

Orang itu manggut-manggut sembari menatap Tuhagana dengan seksama, dia bersuit sejenak lalu melambai pada gerumbulan semak di komplek kolam. Seseorang muncul dan berjalan mendekat.

“Benar, dia penjual aren?” tanya orang itu pada si pendatang.

“Benar. Dia memiliki kedai di perbatasan luar kota dekat sungai,” jawabnya.

“Sudah berapa lama berjualan?”

“Belasan tahun.” sahut si pendatang

“Hm…” orang itu menatap Tuhagana. “Kau masuklah, akan kubeli…”

“Ba-baik…”

Atas tanya jawab tadi, Tuhagana menjadi sangat terkesiap, untung saja sehari-harinya dia memang benar berjualan air aren. Keraguan membuatnya ingin menghindar dari orang-orang itu, tapi masa sih penjual aren punya kewaspadaan seperti itu? Dengan mengeraskan hati dia melangkahkah kaki ke dalam.

Tanda itu berhenti tepat di pintu komplek kolam ikan, pematang menuju bangunan itu cukup lebar, di kanan kiri terlihat gemercik air terdengar karena riuhnya ikan berebut makanan. Saat memasuki ruangan, Tuhagana menahan sekuat tenaga untuk tetap bertingkah seperti biasa, dia menahan diri untuk tidak berseru kejut.

Bagaimana tidak, seorang dari anak buah yang baru dikumpulkannya, tengah menyantap bubur. Pandangannya menatap kosong, tangannya menyendok perlahan, di sebelahnya sudah menumpuk tiga-empat-lima.. sembilan piring bekas bubur. Tuhagana sangat sulit untuk menelan ludah karena perutnya tiba-tiba terasa kejang. Dia tahu metode yang sedang dilakukan orang-orang ini terhadap anak buahnya serupa Çabda Daharijja—kalimat sejahtera, yang bersifat seperti hipnotis.

Mereka tidak menanyakan apa pun, hanya menyuruh si korban makan dan terus makan, tak perduli sang korban merasa sesak, pada saatnya nanti, Çabda Daharijja akan dilepas, mereka akan bertanya satu kali saja, jika korban masih menyangkal, Çabda Daharijja akan membelenggunya lagi, dan dia akan terus makan…makan dan makan, sampai mati.

“Sa-saya letakkan di mana?”

“Taruh saja di situ,” katanya menunjuk meja di samping orang yang tengah makan bubur.

Tuhagana memang kejam, tapi kalau harus membunuh anak buah karena desakan yang tidak perlu, itu belum pernah dilakukan. Aren ini memang enak, tapi juga bisa membunuh kalau kau meminum di bawah kuasa Çabda Daharijja.

Setelah mendapat uang, Tuhagana bergegas permisi dan segera pergi, dia ingin sekali menghajar orang-orang itu. Tapi kehadiran salah seorang yang tak terdeteksi olehnya cukup membuat dia sadar, dirinya tengah berhadapan dengan kalangan berilmu tinggi. Membuatnya berpikir jernih untuk segera menjauh.

Setelah Tuhagana lenyap, pondok itu diguncang tawa berderai. Orang yang makan bubur tertawa hampir saja tersedak. Tangannya meraup wajah, dan terlihat wajah tuanya. Dia Ki Alih.

“Jaka… Jaka, akal setanmu memang aneh-aneh! Apa kau tidak kasihan dengan orang itu?” katanya di sela-sela tawanya.

Dari dalam, pemuda yang sudah menyamar menjadi lelaki paruh baya ini tertawa pendek. “Dia memang pejual aren, informasi Penikam tak diragukan. Sayangnya gerakan orang itu tak cukup baik dalam menyembunyikan himpunan hawa murni. Sikapnya juga dibuat terlalu santai, malah makin mencurigakan. Apa paman tidak memperhatikan sorot matanya saat melihat wajahmu tadi? Matanya berekspresi cukup serius. Haha… sungguh penjual aren yang sakti.”

Mereka masih sempat bercakap-cakap sesaat, hingga akhirnya seorang paruh baya lain  masuk ke ruangan. “Cukuplah main-mainnya, kita sudah ditunggu!” kata Cambuk yang tadi bertanya jawab dengan Jaka di depan komplek kolam ikan, mempermainkan Tuhagana. Orang ini telah mempersiapkan segala keperluan untuk dibawa ke istana.

“Mari…” kata Jaka mendahului keluar.

Ternyata, bendera kebesaran Keluarga Keenam cukup membawa dampak bagi lingkungan sekitar istana. Pembersihan yang dilakukan besar-besaran oleh pihak kerajaan, membuat orang-orang Tuhagana terpaksa harus menyingkir. Ini malah menguntungkan pihak Jaka.

Di mata Penikam, orang-orang semacam itu sangat bisa dibedakan jika dibandingkan penduduk biasa. Mereka meringkus tiga orang dengan cepat, lalu membawanya ke dalam komplek kolam. Di sepanjang jalan, Jaka membubuhkan tanda sandi yang didapatnya dari saku mereka. Dan kesudahannya, itu memancing kedatangan Tuhagana, membuat Jaka sekalian bisa memberi tanda, siapa-siapa orang yang harus mereka waspadai.

===o0o===

Mungkin para prajurit banyak yang menyumpah panjang pendek, dalam bayangan mereka tamu yang akan mereka sambut itu rombongan besar dengan perbawa gagah mengesankan. Tak tahunya hanya empat orang tua saja. Jaka Bayu, Penikam, Cambuk dan Ki Alih. Tampang mereka semua paruh baya, bajunya sederhana saja. Tapi yang membuat istimewa, langkah-langkah kecil mereka ternyata melesatkan tubuh hingga belasan langkah ke depan dengan gerakan lambat–melayang! Ini demonstrasi peringan tubuh yang hebat!

Pratyadhiraksana yang turut menyambut di depan gerbang, terlihat begitu tegang. Jika orang yang sempat dia hadapi beberapa hari lalu adalah salah satu panglima Keluarga Keenam, empat orang itu entah bertindak sebagai apa. Dia cukup mengerti bagusnya kualitas peringan tubuh para pendatang itu.

Rombongan itu dipandu Pratyadhiraksana menuju balai pertemuan. Di sana sudah menunggu Sang Raja, Widyabhre dan Mangkubumi Pastarana, lalu terakhir Pratyadhiraksana. Selain itu, di sekitar sang raja juga dikelilingi para senopati tangguh dengan beberapa orang berpakaian pertapa, sorot mata mereka tajam berkilat.

Jaka sesaat memandang berkeliling, lalu mereka memberi hormat.

“Maaf jika kedatangan kami membuat situasi gaduh,” Jaka memulai pembicaraan. “Undangan untuk kami sudah ditebarkan, adakah sesuatu yang bisa kami lakukan?”

Sang Raja memberi isyarat kepada Mangkubumi Pastarana untuk bicara. Dalam saat yang singkat itu, Jaka segera bisa menilai, betapapun seorang raja memang lebih cerdik dan berpengalaman. Dia tidak membiarkan dirinya menjawab pertanyaan, jika itu terjadi sama saja menyerahkan kendali negosiasi kepada lawan bicara.

“Apakah Anda tahu kenapa tanda ini terpasang?” Mangkubumi Pastarana memulai dengan pertanyaan setelah mempersilahkan mereka untuk duduk.

“Tidak tahu,” Jawab Jaka dengan berhati-hati, agaknya orang itu sudah memulai sebuah penjajagan. “Tapi menilik gelagatnya, pasti ada tamu yang berkunjung ke sini. Dan itu cukup merepotkan Anda.”

Mangkubumi Pastarana tersenyum. “Anda salah. Mereka sama sekali tidak merepotkan…”

Jaka segera berdiri memberi isyarat pada lainnya untuk mengikuti. “Kalau begitu kedatangan kami pun tidak diperlukan.” Kata pemuda ini tegas. “Maaf, kami harus segera pergi. Tanda yang kami berikan akan kami tarik kembali, dan hadiah yang diberikan kepada kami pun akan kami kembalikan tanpa kekurangan, mulai detik ini Keluarga Keenam bisa dianggap tidak pernah kenal dengan Anda semua.”

Jawaban pemuda ini yang tegas dan di luar dugaan membuat Mangkubumi Pastarana tertegun.

Betapa cepatnya orang itu—Jaka, mengambil keputusan, membuat Mangkubumi Pastarana tidak sanggup lagi melakukan nogosiasi dalam posisi yang sama kuat. Bagaimana pun pihak kerajaanlah yang lebih dulu mengundang Keluarga Keenam. Sebagai ‘pembeli’, nilai tawar mereka tidak cukup kuat.

“Tunggu!” sang raja akhirnya berbicara juga, dia berdiri dan melangkah mendekat, membuat semua orang merasa cemas. Bagaimana pun juga tamu mereka tetaplah orang asing, keselamatan Sang Raja jelas menjadi prioritas, membuat Mangkubumi Pastarana dan Pratyadhiraksana turut mengiring maju dengan waspada.

Jaka membalikkan badan. Dengan nada tajam pemuda ini berkata. “Ingat, kami bukan kelompok yang berada di bawah ikatan peraturan mana pun, kami tidak mengakui kedaulatan kerajaan mana pun. Kami bebas berkehendak, kami tidak pernah menolak musuh, dan tidak takut bermusuhan dengan siapa pun. Pun jika ada pihak yang kami akui menjadi kawan, lalu harus menjadi seteru kami, tak menjadi masalah besar bagi kami. Tanda yang kami berikan kepada kerajaan ini hendaknya tidak dipandang ringan. Ini sebagai peringatan buat Anda sekalian!”

Nada yang tegas tanpa kompromi itu, lamat-lamat membuat mereka menyadari satu hal; Keluarga dari kalangan persilatan memang tidak bisa diperlakukan sama halnya dengan rakyat jelata, mereka memiliki otoritas penuh terhadap kelompok mereka sendiri. Berbicara dengan mereka pun harus menempatkan mereka menjadi satu golongan yang setara.

“Baik, anggap aku salah bicara. Mari kita duduk dan merundingkan masalah yang ada,” kata Mangkubumi Pastarana menyoja memberi hormat.

“Baik!” sahut Jaka dengan tersenyum, cara Mangkubumi Pastarana memberi hormat, bagi orang lain bisa mendatangkan penyakit, tapi tidak bagi pemuda ini. Apalagi Jaka tidak ingin mengecewakan harapan Ekabhaksa. Keluarga Keenam harus memiliki nama yang berkibar mentereng. Desakan hawa sakti yang keluar dari gerakan membungkuk Mangkubumi Pastarana berpilin membuat belasan pusaran yang mengerucut menjadi titik-titik tajam, bermaksud mencabik lawan tanpa ampun.

Sang Raja berkerut kening, meski dia tahu apa yang sedang dilakukan Mangkubumi Pastarana kurang sopan, dirinya tak mau mencegah. Bagaimanapun seorang tamu harus tahu diri, kalaupun mereka harus merendahkan diri karena kalah kemampuan, itu wajar. Tapi kalau mereka bisa bersikap jumawa seperti itu, sudah seharusnyalah mereka mengunjukkan kemampuan. Sang Raja kembali ke tempatnya sambil memperhatikan dengan seksama.

Jaka balas menyoja. Begitu tubuhnya membungkuk, titik-titik dingin segera terhampar membuat situasi seperti beku dalam sesaat, ketegangan kian menjadi. Di saat bersamaan, semua orang bisa merasakan ada desakan bagai bola angin yang berpusing di antara Jaka dan Mangkubumi Pastarana. Hawa dingin yang semua terlihat mencekam ruangan, perlahan surut, berganti dengan munculnya belasan sulur bagai pusaran angin, melibas titik-titik tajam hawa sakti Mangkubumi Pastarana.

Pemuda ini tidak kepalang tanggung pula saat turun tangan, sebab Mangkubumi Pastarana pun tidak sekedar coba-coba dalam mengerahkan kemampuannya.

Krak! Krak! Krak! Belasan kali hawa sakti keduanya bentrok, tak bisa dilihat dengan kasat mata karena terkadang seperti siluet fatamorgana, tapi di lain saat bagai embun yang menguap terkena sinar mentari.

Tiap benturan, membuat Mangkubumi Pastarana merasakan hawa dingin dan dan panas yang berkali-kali menyambar selubung pertahanan dirinya. Meski tidak menyakitkan, tapi desakan dua hawa yang tidak kunjung putus itu, sangat merepotkan dirinya untuk fokus.

Di lain sisi, Jaka juga merasakan keanehan pada serangan Mangkubumi Pastarana, pusaran hawa sakti yang sudah ditangkisnya, terasa membal, lalu membentuk satu pusaran energi yang baru, demikian seterusnya. Rasanya seperti memotong ekor cicak, dan ekor itu tumbuh lagi—dalam jangka waktu yang dipercepat ribuan kali.

Bagi orang awam, keduanya hanya terlihat seperti sama-sama menyoja dalam waktu yang cukup lama, sampai akhirnya; mereka memutuskan untuk menyudahi ‘perang’ dalam rangka merebut ‘angin’ untuk bicara.

Jaka segera menarik tenaganya sampai titik nol, membuat serangan Mangkubumi Pastarana yang belum sempat ditarik, bagai bendungan jebol menghantam Jaka tanpa hambatan. Terlihat senyuman kemenangan tersungging dari semua pihak Mangkubumi Pastarana, termasuk Pratyadhiraksana—meski dia membenci Mangkubumi Pastarana.

Tapi Mangkubumi Pastarana tidak tersenyum sama sekali, wajahnya terlihat berkerut, bingung. Dia merasa serangannya masuk, telak menghantam. Namun dalam waktu yang sangat singkat, pada jalur pengerahan hawa murninya seperti mendapat guncangan, yang membuat nadinya berdenyut nyeri.

Pratyadhiraksana seperti memahami yang terjadi, dia pun turut menyoja, “Terima kasih banyak atas pengertian Anda,” katanya.

Pada saat itu pula Jaka merasa damparan tenaga yang merambat dari kaki hingga kepala, lalu memberikan efek seperti perasan. Terdengar tulang Jaka berderak akibat serangan mendadak itu. Jaka segera mengenali orang itu, dia bisa mengambil jeda serangan pada titik tenaga yang paling lemah, ternyata orang itu yang menyerang dirinya pada malam hari!

“Sama-sama!” sahut Jaka menggerakkan bahu.

Kuda-kuda kaki diperkuat, lalu dengan gerakan yang alami Jaka menghentak lutut, memotong aliran hawa sakti lawan. Bahu yang sempat terpilin segera membentuk sebuah satu hentakan—karena dorongan dari lutut, yang segera mengembalikan serangan lawan. Tenaga lawan dibalas dengan cara serupa, memusar pula, merambat cepat membuat Pratyadhiraksana tidak menyangka akan ada balasan seperti itu. Dia merasakan sengatan pada lutut, membuat undur sejengkal langkah. Dari telapak kaki hingga pinggang dirasakan sebuah sengatan lemah, tidak menyakitkan, tapi membuat syarafnya kesemutan.

Kejut tak terkira, membuat Pratyadhiraksana tak berani bertindak sembarangan. Kalau menuruti emosinya, dia pasti akan segera mengerahkan beberapa ilmu dahsyat yang tak pernah dikeluarkan selama dirinya berada di dalam Kerajaan Kadungga. Tapi jika itu dilakukan, tentu akan menimbulkan kecurigaan, dan akan menciptakan musuh tak terlihat, Sang Raja. Itu berbahaya untuk seluruh rencananya.

Sebagai orang yang cerdik, dia segera mundur satu langkah di belakang Mangkubumi Pastarana, seraya berkata. “Mari, silahkan duduk kembali.”

Dia pun bersama Mangkubumi Pastarana kemudian undur diri berdiri di samping sang raja.

Jaka sangat menyadari dirinya sudah mendapatkan kendali situasi. Sambil duduk, Jaka menoleh kepada Cambuk. Padahal debar di dada Cambuk belum hilang akibat ketegangan tadi, tapi Jaka malah memintanya untuk berbicara sebuah masalah, membuat tenggorokannya tercekat sesaat.

Cambuk membuka buntalan yang sudah disiapkan, isinya potongan-potongan senjata yang dihancurkan Jaka sekalian saat mengacau di Perkampungan Menur, ada juga kain yang berisi noda darah, di atas kain itu terdapat lipatan kain lain. Kemudian secarik kain dengan tulisan.

Melihat hal-hal yang disiapkan oleh anggota Keluarga Keenam, membuat kalangan pihak Kerajaan merasa, bahwa; justru mereka yang akan mendengar sebuah kabar, lalu kemudian akan bekerja sama mengatasinya. Padahal sejak semula mereka ingin meminta Keluarga Keenam mengurus pelaku teror tadi malam. Dari yang mengendalikan kini menjadi pihak yang dikendalikan. Demikian perasaan kalangan pihak Kerajaan.

Jaka melihat sedikit kegugupan pada tindakan Cambuk, dia tak mengizinkan kegugupan itu membuat pamor yang sudah ditanam tadi menjadi runtuh. Pemuda ini segera mengambil alih situasi.

“Apa yang ingin dibicarakan?” Tanya pemuda ini memecah keheningan.

Karena Mangkubumi Pastarana sudah terbentur dengan sikap tegas Jaka, maka orang inipun tidak mau bertele-tele. “Kami mengalami keadaan cukup rumit…” lalu diceritakan kejadian teror tadi malam, membuat Jaka sekalian hampir saja tertawa.

“Banyak orang berkemampuan hebat di sini, kenapa harus kami yang turun tangan?” tanya Jaka dengan mimik serius.

Mangkubumi Pastarana menghela nafas sejenak. “Kau benar, tapi jika kami harus berkonsentrasi mengejar pelaku, atau berjaga-jaga terhadap pelaku yang kemungkinan akan datang lagi, kekuatan kami menjadi terpecah. Sementara masih banyak persoalan lain yang perlu penanganan secara serius.”

“Ah… aku paham,” gumam Jaka.

“Karena itu, Keluarga Keenam sebagai sahabat kami, harus bertindak membantu, bukankah begitu?” tanya Mangkubumi Pastarana setengah menodong.

Jaka manggut-manggut. “Kau benar, kami tidak keberatan untuk mencari para perusuh itu. Dan, untuk kalian ketahui… kami membawa beberapa persoalan pelik kepada kalian.”

Sang Raja saling pandang dengan para pengikutnya. “Maksudmu bagaimana?” Sang Raja bertanya bingung.

“Sebelum dijelaskan lebih lanjut, kami memerlukan orang yang mengerti tiga jenis kemahiran,” kata Jaka membuat Sang Raja tertegun sesaat.

“Katakan…”

“Mpu, tabib dan orang yang mengerti jenis baju dan tulisan,” terang Jaka.

Mangkubumi Pastarana mengangguk pada Sang Raja, setelah mendapatkan persetujuan untuk bicara hingga akhir, lelaki ini maju satu langkah dan berkata: “Tak perlu tiga orang, cukup aku saja.”

Jaka saling pandang dengan Ki Alih sekalian. “Itu malah lebih bagus,” seru Jaka mendekat sambil membawakan apa-apa yang dipersiapkan Cambuk.

“Silahkan periksa ini.”

Pemuda ini memberikan beberapa potongan senjata.

Mangkubumi Pastarana memeriksanya dengan seksama, sebelum akhrnya dia meminta kepada seorang ajudannya untuk membawakan pedang yang biasa dipakai prajurit. Tanpa ragu, Mangkubumi Pastarana menghantam pedang itu dengan ayunan kencang tanpa hawa sakti.

Trang! Prak! Lelatu api muncrat, dan ujung pedang yang digunakan Mangkubumi Pastarana patah.

“Apa maksudnya ini?” tanya Mangkubumi Pastarana tidak mengerti, ternyata pedang prajuritnya secara kualitas kalah jauh.

“Kami baru saja menghancurkan beberapa rumah penempa senjata, semuanya memiliki kualitas sebagus ini, bahkan lebih. Orang-orang yang membuat senjata itu, melakukan jual beli dengan sekelompok pihak yang tidak diketahui. Karena masih di wilayah Kadungga, membuat kami berinisiatif untuk menghancurkan senjata-senjata mereka. Tapi perihal pembeli, itu urusan kalian… ”

“Oh…” barulah Mangkubumi Pastarana sekalian paham, diam-diam mereka memiliki firasat jelek terhadap benda lainnya.

Jika potongan pedang saja bisa bercerita begitu banyak—bahwa; kemungkinan bahaya peperangan sedang mengintai kerajaan, dengan kekalahan telak di pihak Kadungga—karena senjata mereka kalah kualitas. Tentu, cerita tentang dua benda lainnya tak kalah mendebarkan.

“Kemudian ini.” Jaka memberikan kain bernoda darah, menyingkirkan bungkusan kain yang ada di atasnya.

Mangkubumi Pastarana mengamati kain itu dengan seksama, diterawang sesaat. “Tidak ada bekas percikan, hanya rembesan darah. Apakah kain ini tepat di mulut luka?”

Jaka mengangguk, membuat Mangkubumi Pastarana berkerut serius. “Artinya serangan yang dilakukan bukan dengan sabetan senjata, bukan pula pukulan. Tapi sejenis tusukan dengan ujung sangat tajam dan kecil. Namun memiliki daya letus terbatas pada ujungnya, membuat daging atau syaraf yang kena, bisa pecah dan mengalirkan darah cukup deras.”

Jaka tidak berkomentar, sebenarnya dia hampir saja mengatakan; ’serupa dengan seranganmu yang berkesan tajam’, tapi pada forum seperti ini, ucapan tersebut akan sangat membahayakan, karena bisa diolah sedemikian rupa oleh orang-orang yang tak menyukai Mangkubumi Pastarana, untuk menyingkirkan dia dari istana.

“Lalu apa maksud kain ini?” tanya Mangkubumi Pastarana berkerut kening.

“Ini terjadi tepat di perbatasan kota ini, apakah tidak ada yang tahu?”

Mangkubumi Pastarana menoleh kepada salah seorang senopatinya, tapi dia hanya menunduk, artinya; tidak tahu ada kejadian semacam itu.

“Korbannya adalah salah seorang tetua perguruan yang cukup besar, tak perlu kusebutkan namanya, kini dia dalam perawatan kami, sampai sekarang belum siuman juga.”

“Karena luka itu?” tanya Mangkubumi Pastarana tidak percaya, meskipun luka itu bisa membuat daging koyak, tapi tidak mematikan, tidak membuatnya menjadi terlalu parah…

“Bukan, tapi karena ini…” Jaka mengangsurkan bungkusan yang tadi ditaruh di atas kain penuh bercak darah itu.

Saat Mangkubumi Pastarana membuka, Jaka menyarankannya untuk hati-hati. “Itu adalah racun yang kami daur ulang kembali dari luka si korban.”

Wajah Mangkubumi Pastarana berubah sangat serius. Meskipun dia tidak memiliki pengetahuan mengenai racun seluas Jaka, tapi cukup mengetahui ciri racun berbahaya dari bentuk dan warnanya. Dengan cepat, Mangkubumi Pastarana menyayat ujung jemarinya, meneteskan darah tepat di atas bubuk racun tersebut.

Cesss! Darah yang tercampur bubuk racun segera menghitam, lalu kain yang digunakan membungkus racun itu secara perlahan ternoda warna hitam.

“Racun apa ini? Sungguh ganas!” desis Mangkubumi Pastarana menyingkirkan kain tersebut.

“Tidak tahu,” jawab Jaka. “Tapi sifatnya sangat ganas, begitu masuk ke  dalam tubuh, akan mengejar darah, sangat sulit menyembuhkan racun seperti ini, karena selain sifatnya yang cepat membaur, racun ini juga mengencerkan darah.”

Kata demi kata sudah didengar semua orang, membuat situasi jadi tak nyaman. Sudah tentu Sang Raja pun harus segera bersiap dalam pengamanan yang kian ketat, karena boleh jadi si pemilik racun tidaklah sebaik hati peneror malam kemarin yang hanya ‘bermain-main’ terobos sana sini, gebuk sana-sini.

“Lalu terakhir, ini… silahkan diperiksa.”

Jaka menyerahkan kain tipis yang berisi tulisan ‘sedang mengikuti san- – – -’ bagian lanjutan sepertinya sengaja dicoret.

Mangkubumi Pastarana kembali meneliti kain. ”Kain ini terbuat dari pintalan serat kayu gaharu, sungguh mahal, lagi pula tidak semua orang bisa membelinya. Ini dibuat berdasarkan pesanan khusus. Pemiliknya pasti bukan orang biasa.”

“Bisa dari kalangan istana?” tanya Jaka membuat tiap mata menatap ke arahnya. Penyakit dalam kata yang diucapkan Jaka sungguh tidak kecil.

Pratyadhiraksana mengumpat dalam hati, ‘setan alas! Dengan ini gerakanku makin terbatas!’ dan tentunya bukan Pratyadhiraksana saja yang merasa demikian, pihak lain yang memiliki mata-mata di sekitar Kerajaan Kadungga-pun menjadi was-was.

“Bagaimana dengan jenis tulisannya?” tanya Jaka.

Lagi-lagi Mangkubumi Pastarana harus menggeram menyaksikan hal terakhir, begitu banyak kepusingan yang bisa menimbulkan kepanikan, telah dibawa Keluarga Keenam.

“Tiap goresannya sungguh cepat, berkesan tergesa. Artinya dia selalu bergerak mengamati. Tapi siapa itu ‘san- – – ’ yang dimaksud?” tanya Mangkubumi Pastarana membuat  wajah Pratyadhiraksana berubah sesaat. Apakah tujuan Keluarga Keenam adalah Sandigdha? Pikirnya gundah.

“Kami tidak menyelidiki sampai sejauh itu, bagaimanapun ini di luar kewenangan kami. Jika kami harus bergerak untuk menyelesaikan permasalahan, harus ada komitmen yang dibangun di antara Keluarga Keenam dengan siapa pun!” tegas Jaka.

Mangkubumi Pastarana menatap orang dihadapannya dengan seksama, baru satu orang dari Keluarga Keenam, tapi sudah menimbulkan kerumitan seperti ini. Bagaimana jika mereka bergerak serentak? Mangkubumi Pastarana tak bisa membayangkan. Dia menatap Sang Raja meminta pertimbangan.

“Kalian meminta komitmen, rasanya itu terlampau jauh!” kata Sang Raja merasa keberatan.

“Terserah Anda Yang Mulia…” kata Jaka dengan nada tanpa beban. “Tidak ada kerugian apa pun buat kami, toh kewajiban kami menolong Kadungga hanya untuk menangkap penyusup yang menebar ancaman tadi malam. Apa-apa yang kami lakukan—dengan berakhir membawa beberapa barang bukti ini, hanya pekerjaan sambil lalu. Hanya sebagai bentuk perhatian terhadap kawan, supaya berhati-hati. Maka ini tidak untuk dikerjakan dengan serius.”

Bagi mereka, ucapan Jaka seperti menerima recehan, membuang emas. Bersedia mengurus masalah kecil, tapi tak mau yang rumit. Dan seperti yang diisyaratkan tadi, jika pihak Kerajaan Kadungga ingin Jaka sekalian menuntaskan, maka ada komitmen yang harus dibangun.

Berdasarkan gagalnya ujian dari Mangkubumi Pastarana untuk merobohkan Keluarga Keenam, ditambah lagi kemahiran mereka dalam mendaur ulang racun, serta bisa mendapatkan secarik kain langka dengan tulisan sandi, rasanya untuk menuntaskan ketiga masalah yang mereka ungkapkan tadi, jadi mudah sekali.

Tapi komitmen apa yang diminta oleh Keluarga Keenam, sampai saat ini Sang Raja enggan ingin tahu. Bagaimana jika nanti Keluarga Keenam ternyata mengganggu kedaulatan negerinya? Ini berbahaya!

Entah mengapa, baik Mangkubumi Pastarana maupun Pratyadhiraksana, memiliki pendapat sama, mereka merasa; memanggil Keluarga Keenam itu tindakan yang terlampau terburu-buru, dan bisa pula menjadi kesalahan fatal.

Pratyadhiraksana memastikan Keluarga Keenam akan bertindak layaknya benalu. Dan ini memusingkan! Karena banyak keterbatasan gerak yang bakal dialami Pratyadhiraksana. Padahal sebelumnya dia pernah memerintahkan Sembilan Belantara sekalian untuk mencari tahu tentang Keluarga Keenam. Tanpa diduga, sudah dua kali ini dia bersua, dan semua membawa kerugian baginya! Sudah tentu Pratyadhiraksana merasa dongkol setengah mati!

Sang Raja berunding dengan Mangkubumi Pastarana, dia menanyakan apakah tidak mungkin segala sesuatunya justru merupakan rekayasa Keluarga Keenam untuk mengacau? Mangkubumi Pastarana tak bisa menjawab pasti, dia berpendapat racun yang dibawa Keluarga Keenam bukanlah sembarang racun yang bisa dibuat dalam jangka waktu singkat.

Sang Raja termenung sesaat. “Baiklah, aku akan mengambil resiko besar dengan mendengarkan apa kemauan kalian.”

Jaka tersenyum. “Saya rasa bukan hal yang luar biasa, kami cuma meminta kepercayaan dari pihak kerajaan untuk menyelesaikan semua masalah ini.”

“Oh…” Sang Raja terbelalak, lalu tertawa. “Hanya seperti itu?”

“Ya…” sahut Jaka.

“Itu sangat mudah!” serunya lega.

“Tentunya, jika kami harus menyelidik ke sana kemari supaya tidak mendapat salah paham dari pihak Kerajaan Kadungga, ada tanda khusus yang bisa kami dapatkan. Begitu kan?” ujar Jaka.

“Tentu, tentu…” sahut Sang Raja cepat. Tanda kepercayaan yang diminta Keluarga Keenam, itu sama halnya tanda kepercayaan yang dimiliki para pejabat khusus yang bertugas keliling negeri.

Mangkubumi Pastarana bisa menghela nafas lega, Keluarga Keenam hanya membutuhkan kebebasan bergerak secara formal—meskipun mereka tidak membutuhkan itu. Tapi entah kenapa bagi Pratyadhiraksana, tetap ada hal yang aneh. Tapi di bagian mana yang aneh, dia tak tahu.

===o0o===

Pertemuan itu ditutup dengan diberikannya empat lencana emas yang memiliki stempel langsung dari Sang Raja. Lencana ini menyebutkan Keluarga Keempat dapat bergerak bebas di seluruh wilayah Kadungga. Bahkan untuk bertemu dengan para pejabat yang saat ini hadir-pun, sama mudahnya bertemu penjual tempe. Tanpa tetek bengek birokrasi menyebalkan.

Satu bidak besar sudah digerakkan oleh Jaka, pemuda ini sengaja meniru tulisan yang berada pada krah baju Nekawarnnarengit yang dibunuh Sandigdha. Kecuali potongan senjata yang memang nyata diambil dari Perkampungan Menur. Bukti lain yang bisa ‘bercerita’ adalah murni rekayasa. Bagaimana dengan ‘bukti’ racun? Itu adalah bentuk reka ulang dari racun yang digunakan Sandigdha untuk memoles seluruh kereta uangnya, yang dicampur dengan biang racun dari hati merak yang dibuat dengan bisa ular paling keras dari dunia barat—yang juga merupakan pemberian Sandigdha.

Semua yang dilakukan Jaka bukannya tiada arti. Untuk menipu seorang ahli memang butuh keahlian tinggi pula, Jaka bersama Ki Alih dan Jalada berdiskusi cukup intens untuk menciptakan sebuah pukulan berciri seperti yang disimpulkan Mangkubumi Pastarana. ‘Bukti’ pukulan bercampur racun, makin memudahkan Jaka untuk mengarahkan opini. Kain dengan percikan darah beserta racun, digunakan Jaka untuk mengantisipasi pergerakan orang yang melukai Phalapeksa. Manakala pihak yang berwenang tahu, ada pergerakan misterius dengan berbekal racun dan kemahiran tinggi, membuat Jaka mudah mensinkronkan setiap strategi dalam menghadapi beragam situasi di lapangan. Sebab, kali ini sudah ada lencana emas dari Sang Raja di kantongnya.

Lalu, apa alasannya menggunakan kain dengan pintalan serat gaharu? Sesuai opini yang diarahkan Jaka, kain gaharu jelas hanya bisa dinikmati kebanyakan kalangan kerajaan. Jaka berasumsi, Kwancasakya sudah masuk pula ke dalam Kerajaan Kadungga. Dengan menyamakan kalimat yang terdapat di dalam krah baju Nekawarnnarengit, sudah cukup memberikan ‘teguran’ bagi pihak Kwancasakya untuk berhati-hati, agar tidak sembarangan bertindak—mengail di air keruh. Jaka ingin memberitahu pada Kwancaskya, bahwa; Keluarga Keenam memantau gerakan mereka.

Inilah cara Jaka dalam ‘memintal bulu domba’, siapa pun orangnya—dalam hal ini Pratyadhiraksana—pasti akan segera memberi tahu seluruh kejadian di balairung istana kepada Sandigdha. Dengan sendirinya Sandigdha si Tangan Bayangan akan menggeliat mencari pelindung, entah dia akan membawa jejak ini kepada si Tua Bangka, atau justru kepada pihak lain—yang belum Jaka ketahui, itulah garis besar rencana Jaka.

Begitu njelimet, membuang tenaga dan pikiran banyak pihak. Apakah hanya demi mengurus tokoh tingkat lima dalam keluarga Tumparaka saja? Tentu tidak. Pada dasarnya Jaka sangat berkepentingan dengan racun masa lalu yang sedang dijiplak oleh ‘si entah siapa’. Karena pemuda ini sadar, ada hal yang jauh lebih mengerikan sedang dirancang oleh seseorang. Dia harus menghentikannya. Hanya itu!

—ooOoo—

Komentar Anda