Mataram Binangkit Buku 402

MATARAM BINANGKIT

Lanjutan Api Di Bukit Menoreh

Karya Ki Agus S. Soerono

Seri V

Buku 402

Demikianlah mereka berbincang mengenai berbagai hal yang menyangkut keluarga mereka. Ki Gde Menoreh menanyakan tentang cucunya Swantara, yang tentunya sedang lucu-lucunya.

“Ayah Demang menjadi kewalahan mengatasi anak kecil itu”kata Swandaru.”Anak itu suka berlari ke sana kemari dan memanjat semua pepohonan yang ada di halaman rumah”.

Ki Gde Menoreh mengerutkan keningnya.

“Bukankah Swantara belum berumur empat tahun?” tanyanya.

“Belum ayah. Tetapi ia sudah lincah sekali bermain ke sana kemari. Ada saja gagasannya yang lucu-lucu membuat semua orang tersenyum, bahkan tertawa lebar” kata Swandaru.

“Oo. Alangkah lucunya” kata Ki Gde Menoreh.”Kalau aku masih kuat berkuda tentu aku ingin pergi menengok cucuku yang lucu dan nakal itu.”

“Ayah, biarlah kelak jika Sekar Mirah sudah melahirkan, aku, Pandan Wangi dan Swantara yang datang kemari menengok adik kecil yang baru lahir,” kata Ki Swandaru.

“Baiklah jika demikian. Aku juga sudah tidak bisa lagi memaksakan diri untuk pergi ke Sangkal Putung, apalagi kondisi kesehatanku yang sudah tidak memungkinkan karena cacat di kaki ini” kata Ki Gde Menoreh.

Ki Gde Menoreh termangu-mangu sejenak.

Memang sejak luka-luka di punggungnya setelah berperang tanding dengan Ki Tambak Wedi dahulu, kondisi kesehatan Ki Gde Menoreh tidak bisa pulih seperti sedia kala, terutama cacat pada salah satu kakinya itu. Namun sebagai seorang yang mempunyai kelebihan wadag dan jiwani daripada orang kebanyakan, maka hal itu tidak menjadikan Ki Gde Menoreh menjadi berkecil hati.

Setiap hari Ki Gde Menoreh masih sempat meluangkan waktu untuk masuk ke ruangan sanggarnya untuk melatih kondisi tubuhnya agar tetap tegar. Selain itu, Ki Gde juga meningkatkan kemampuannya untuk bergerak lincah, meskipun hanya mengandalkan bertumpu pada satu kaki. Bahkan Ki Gde Menoreh lebih banyak berlatih untuk meningkatkan tenaga cadangannya. Ternyata dengan bekal tenaga cadangan yang bisa dibangkitkannya, Ki Gde sudah bisa merambah ke peningkatan kemampuannya dalam menggunakan ilmu pamungkasnya.

Seperti halnya dengan anaknya ”Nyi Pandan Wangi” ternyata Ki Gde Menoreh mulai mengenali kemampuan ilmunya yang bisa mendahului bentuk wadagnya dalam mencapai sasaran. Ki Gde tak henti-hentinya melatih pengenalan atas ilmunya itu, meskipun secara kewadagan ia sudah merasa mulai menyusut kemampuannya. Namun pengenalan itu membuatnya semakin maju dengan pesat dalam menggeluti ilmu pamungkasnya itu.

“Bagaimana dengan Ki Widura dan anakmas Untara?”tanya Ki Gde Menoreh yang tiba-tiba teringat dengan kedua kerabatnya itu.

“Kalau Ki Widura sekarang menyibukkan diri dengan mengurus padepokan kecil Orang bercambuk peninggalan Kiai Gringsing. Bahkan putera kakang Untara ”Wira Sanjaya” kini berguru di padepokan itu.” kata Ki Swandaru.

“Oh ya? Bagaimana kabarnya Ki Untara”tanya Ki Gde Menoreh pula.

“Kakang Untara mendapat kepercayaan untuk menjadi Panglima Wira Tamtama, suatu jabatan yang sejak lama kosong setelah Ki Gde Pemanahan mendirikan Mataram. Jabatan itu dijabat Ki Gde Pemanahan pada zaman Pajang” kata Ki Agung Sedayu.

“Oo. Syukurlah. Aku Ikut senang mendengarnya. Apakah Ki Untara akan berkedudukan di Kotaraja?” tanya Ki Gde Menoreh.

“Iya ayah. Kakang Untara yang kini bergelar Ki Prabayudha itu berkedudukan di Kotaraja. Sedangkan jabatan kakang Prabayudha digantikan oleh adi Sabungsari yang kini sudah berpangkat rangga.” kata Ki Swandaru Geni menimpali.

“Lalu anakmas Agung Sedayu juga mendapat gelar kekancingan?”tanya Ki Gde Menoreh.

Ki Agung Sedayu hanya terdiam, dan menunduk. Sebagaimana biasanya, ia tidak ingin menonjolkan diri. Berbeda dengan adik seperguruannya yang sekaligus kakak iparnya. Ki Swandaru Geni.

“Iya ayah. Kakang Agung Sedayu mendapat pula gelar kekancingan Ki Tumenggung Agung Jaya Santika”akhirnya Ki Swandaru Geni yang menjawabkan untuk Ki Agung Sedayu.

“Ki Tumenggung Agung Jaya Santika. Sebuah nama yang bagus” kata Ki Gde Menoreh.

Ki Agung Jaya Santika tersipu malu mendengarnya.

“Terima kasih Ki Gde”jawab Ki Agung Jaya Santika.

Setelah puas bercakap-cakap, Ki Tumenggung Agung Jaya Santika dan Ki Swandaru pun meminta diri.

“Kenapa kau tidak bermalam di sini saja. Aku tidak punya teman ngobrol. Apalagi aku jarang sekali bisa tidur di sore hari” kata Ki Gde Menoreh hendak menahan menantunya. Ki Swandaru menoleh kepada Ki Tumenggung Agung Jaya Santika. Ki Tumenggung Agung Jaya Santika pun menganggukkan kepalanya, tanda setuju.

“Jika demikian, biarlah malam ini aku menemani ayah malam ini. Bukankah kakang tidak berkeberatan?” Ki Swandaru bertanya.

“Tidak. Tidak adi. Aku tidak berkeberatan” katanya. ”Kalau demikian biarlah aku yang mohon pamit”

Ki Agung Jaya Santika pun kemudian permisi meninggalkan rumah Ki Gde Menoreh dan kembali ke rumahnya.

Dalam pada itu, saudara Ki Bargas dan Ki Bergawa yang dilumpuhkan oleh Ki Tumenggung Agung Jaya Santika, terus berlari menjauhkan diri dari Tanah Perdikan Menoreh. Ia merasa seolah-olah Ki Agung Jaya Santika atau anak buahnya terus mengikutinya selama dalam perjalanan.

Ia berlari menubras-nubras pepohonan semak belukar. Ia baru merasa lega setelah matahari terpeleset di punggung bukit, dan sinarnya berubah menjadi kemerah-merahan. Bersama datangnya sang gelap malam, ia bisa bersembunyi dalam keadaan tenang. Apalagi sebagai seorang yang biasa hidup di dunia yang kelam, kegelapan adalah teman yang paling akrab untuk menyembunyikan diri. Berbeda dengan orang kebanyakan, yang justru takut bila sang gelap malam bertengger di atas marcapada.

Setelah merasa aman dari kejaran prajurit Mataram itu, ia pun mulai mencari tempat untuk beristirahat di malam yang dingin di musim bediding seperti sekarang ini. Ketika melintasi daerah persawahan, ia melihat sebuah gubuk yang agak rapat tertutup dinding gedeg. Di sanalah ia beristirahat. Sejenak ia menajamkan pendengarannya.

Ternyata tidak ada yang mencurigakannya. Malam itu irama malam mulai merajai suasana. Suara katak bersahut-sahutan memecah malam, ditingkahi oleh suara jangkerik, bilalang, burung kedasih, burung bence dan burung hantu.

Sesekali terdengar suara anjing hutan melolong panjang menunjukkan pertanda kekuasaannya dari tepi hutan. Tapi lolong anjing hutan itu segera terputus, ketika dalam jarak yang tidak terlalu jauh terdengar sang raja hutan mengaum panjang. Harimau. Seekor anjing hutan yang tadinya melolong panjang, terdengar terkaing-kaing, lalu diam. Agaknya ia menjadi santap malam yang lezat bagi si raja hutan. Karena sang harimau sudah mendapat santapan malam, ia pun menyeret korbannya ke sarangnya untuk berbagi dengan betina dan anaknya. Setelah itu, malam kembali ke iramanya yang tadi.

Saudara seperguruan Ki Bargas itu pun kemudian meletakkan tubuhnya di atas tumpukan jerami. Ia yakin harimau yang sudah kenyang itu tidak akan mengganggunya.

Tanpa terasa ia tertidur nyenyak di tengah persawahan itu. Ketika terbangun, fajar sudah menyingsing. Cepat-cepat ia bangun, karena khawatir jika pemilik sawah itu datang, bisa mencurigainya tanpa sebab.

Ia pun kemudian melanjutkan perjalanan. Ia sampai ke Gunung Kendeng setelah berjalan sehari penuh. Dari sana ia mencari seekor kuda milik kawannya. Ia lalu memacu kuda itu ke arah Timur menuju Panaraga.

Dalam pada itu, di Panaraga Glagah Putih dan Rara Wulan masih terus mengamat-amati Istana Kadipaten. Ia selalu berbagi tugas dengan kawannya yang bernama Madyasta, Sumbaga, Sungkana dan Ki Darma Tanda.

Sudah berhari-hari Glagah Putih mengamati Istana Kadipaten, namun belum dilihatnya ada kegiatan yang berarti dari dalam Istana. Agaknya orang yang mengaku bernama Pangeran Ranapati itu bekerja sangat cermat. Ia tidak mau terburu-buru untuk menggerakkan pasukan yang akan bisa memancing kemarahan kekuatan Mataram.

Karena itu, ketika Pangeran Ranapati mendapat kesempatan menghadap Kangjeng Adipati Panaraga Pangeran Jayaraga, ia menyarankan kepada Kangjeng Adipati untuk mulai memperkuat pasukan Panaraga.

“Apakah yang harus aku lakukan adimas?”tanya Kangjeng Adipati Pangeran Jayaraga.

“Kakangmas harus sudah mulai memberi kesempatan kepada rakyat, terutama dari padepokan-padepokan untuk mengikuti pendadaran bakal prajurit Panaraga. Dengan mengangkat prajurit baru, maka pasukan Kadipaten Panaraga akan menjadi semakin kuat, suatu kekuatan yang akan dapat diperhitungkan oleh kawan maupun lawan” kata Pangeran Ranapati.

“Apakah hal itu sudah cukup adimas?” tanya Pangeran Jayaraga lagi.

“Tentu belum cukup, kakangmas. Sebenarnya aku sudah menjalin hubungan dengan perguruan Windu Jati dan beberapa padepokan yang ada di Panaraga. Bahkan aku telah mengenal dengan sangat baik salah seorang murid dari perguruan itu Windu Jati…”

“Oleh kawanku itu, aku sudah sempat dibawa menghadap gurunya. Aku lalu menyampaikan gegayuhanku dan gegayuhan kakangmas untuk menjadikan Panaraga sebuah kadipaten yang kuat untuk membayangi kekuatan Mataram, bahkan kalau mungkin membangkitkan kejayaan Majapahit di masa silam” kata Pangeran Ranapati lagi.

“Agaknya guru aliran Windu Jati dan beberapa padepokan tersebut memberi perhatian, mempercayaiku dan ia mendukung gegayuhan yang hendak dicapai oleh Panaraga secara keseluruhan.

“Guru aliran Windu Jati itu pun agaknya mempunyai gegayuhan yang sejalan dengan keinginan kita. Ia tidak mau kepalang tanggung, karena itu ia telah memerintahkan empat orang murid utamanya untuk menjajagi kekuatan pasukan Mataram. Keempat orang itu telah dua pekan berangkat ke Mataram, namun sampai sekarang belum kembali” katanya.

“Jika kakangmas berkenan, aku rasa Mas Panji Wangsadrana bisa membuat wara-wara untuk segera membuka kesempatan kepada masyarakat dan murid berbagai padepokan di seluruh Panaraga untuk mengikuti pendadaran calon prajurit” kata Pangeran Ranapati.

“Baiklah. Jika hal itu adimas anggap baik, aku akan memerintahkan Senapati Mas Panji Wangsadrana melaksanakannya” kata Kangjeng Adipati Pangeran Jayaraga.

“Tapi aku mohon ampun kakangmas. Bukan maksudku untuk meragukan kemampuan kakangmas. Namun aku ingin mengingatkan kakangmas, bahwa untuk membangun kekuatan pasukan yang mumpuni, membutuhkan biaya yang sangat besar”

“Aku paham adimas. Aku sudah siap biayanya. Namun jika biaya itu kurang maka kita dapat meminta rakyat untuk membayar pajak yang lebih besar untuk membiayai pembangunan kekuatan pasukan Panaraga.”

“Tetapi apakah mereka tidak akan berkeberatan seandainya kita bebani lagi mereka dengan pajak tambahan?” tanya Pangeran Ranapati.

“Tidak ada alasan bagi mereka untuk berkeberatan adimas. Bukankah selama ini mereka menikmati hasil pembangunan yang kita laksanakan seperti jalan, jembatan, bendungan dan saluran air yang membuat hasil panen mereka melimpah dan bisa dijual sampai keluar Panaraga…”

“Nah sekarang, aku memerlukan pengorbanan mereka berupa pembayaran pajak yang sedikit lebih besar, yang pada akhirnya demi kemajuan mereka juga. Kalau Panaraga menjadi negeri yang besar, tentu mereka akan ikut pula menikmati”

“Baiklah kakangmas, aku dapat memahami itu. Namun ada satu hal lagi kakangmas” kata Pangeran Ranapati.

“Apa itu adimas?”tanya Kangjeng Adipati.

“Kakangmas juga bisa mulai membangun kekuatan dengan memanfaatkan kekuatan-kekuatan yang sudah ada untuk bergabung dengan kita untuk meruntuhkan Mataram” kata Pangeran Ranapati.

“Caranya bagaimana?”tanya Kangjeng Adipati.

“Caranya, tentu saja dengan membuat hubungan dengan orang-orang yang tidak puas dengan bangkitnya Mataram. Kita bisa berhubungan dengan Madiun, Demak, Kudus, Pacitan, Surabaya, Pajang atau Jipang. Di sana tentu ada orang-orang yang merasa tersingkirkan oleh berdirinya Mataram. Padahal kalau Mataram tidak berdiri, tentu seharusnya mereka yang meneruskan garis kekuasaan yang memerintah di tlatah ini”.

“Inilah yang berbahaya adimas. Mereka tentu sangat mengetahui, bahwa aku adalah masih keturunan Panembahan Senapati” kata Kangjeng Adipati Pangeran Jayaraga..

“Biarlah hal itu aku yang mengatur kakangmas” kata Pangeran Ranapati. ”Bukankah kakangmas sebagai saudara tua, seharusnya lebih berhak memerintah ketimbang Panembahan Hanyakrawati…”

“Ya itulah yang menjadi sebab aku selalu menjadi gelisah, adimas. Aku merasa seperti ada sesuatu yang selalu mengganggu perasaanku. Aku merasa tidur tidak nyenyak, makan tidak enak…”

“Hal itu janganlah membuat kakangmas gundah gulana. Sebenarnya nasib kakangmas jauh lebih baik daripada aku. Sejelek-jelek nasib kakangmas, kakangmas masih mendapat sepetak tanah yang bernama Panaraga ini dan mendapat kekuasaan yang tidak terbatas, meskipun dalam lingkungan yang lebih kecil daripada Mataram…”.

“Tetapi apa yang aku alami? Aku terlunta-lunta hampir sepanjang hidupku. Tidak ada seorang pun di antara keluarga Istana yang mengenalku, bahwa aku masih sanak kadang mereka. Untunglah kakangmas di Panaraga ini sempat mengadakan adon-adon untuk mencari senapati, kalau tidak…” Pangeran Ranapati mendesah.

“Sudahlah adimas. Mungkin memang sudah menjadi garis nasib, bahwa kita pada akhirnya harus bertemu di Panaraga ini. Bukankah itu lebih baik daripada kita tidak bertemu sama sekali?” kata Kangjeng Adipati Panaraga Pangeran Jayaraga.

“Jika kakangmas menyetujui langkah yang harus aku ambil untuk menghubungi sanak kadang kita yang kecewa dengan naiknya Panembahan Hanyakrawati, maka aku akan segera menggalang kekuatan yang bisa kita ajak untuk bergerak bersama-sama dalam satu irama untuk kebangkitan Mataram yang baru” kata Pangeran Ranapati.

“Baiklah adimas.Tetapi adimas harus berhati-hati benar. Sebab dalam kondisi demikian ada saja orang-orang yang menjadi telik sandi rangkap. Kepada kita mereka tidak menyatakan berkeberatan, tetapi ke sana juga mereka menyatakan tidak menolak” kata Kangjeng Adipati.

“Aku paham kakangmas. Kakangmas tidak perlu khawatir. Aku mempunyai saluran-saluran yang dapat dipercaya untuk membuat hubungan-hubungan demikian. Asal kita mempunyai dana yang cukup bisa menjamin hidup mereka dan keluarganya, maka mereka tentu bersedia untuk membantu kita.”

“Mengenai pendanaan aku tidak merasa berkeberatan, adimas. Sebagai bekal perjalanan dan keperluan adimas untuk membangkitkan segala kekuatan yang bisa mendukung kita, adimas bawalah sekantung uang ini” kata Kangjeng Adipati Pangeran Jayaraga, sambil menyodorkan sekantung uang emas.

“Terima kasih kakangmas. Kepercayaan kakangmas ini aku junjung tinggi” kata Pangeran Ranapati.

“Untuk menyiapkan pendadaran bakal prajurit Panaraga, aku rasa Mas Panji Wangsadrana sudah mulai bisa bergerak untuk membuat wara-wara penerimaan bakal prajurit Panaraga”kata Kangjeng Adipati.

“Benar kakangmas. Mas Panji Wangsadrana sudah dapat melakukan hal itu mulai pekan depan”kata Pangeran Ranapati.”Sedangkan aku mulai besok akan bergerak ke Jipang, Madiun dan Demak. Dengan pertanda kepercayaan dari Kakangmas, maka aku akan bisa menjalin hubungan dengan orang-orang tertentu di ketiga kadipaten itu”kata Pangeran Ranapati.

Demikianlah Pangeran Ranapati segera bersiap-siap untuk mengadakan perjalanan ke ketiga kadipaten itu, termasuk dengan padepokan-padepokan yang bisa diajaknya bekerjasama untuk meruntuhkan Mataram.

Sebagai langkah pertama, besok Pangeran Ranapati akan mengunjungi padepokan Windu Jati di Panaraga. Padepokan itu terletak di tepi hutan, agak tersembunyi dari jalan raya. Untuk mencapai padepokan itu, diperlukan waktu perjalanan dengan berkuda setengah hari. Namun jika ditempuh dengan berjalan kaki bisa dicapai sehari penuh.

Namun karena Pangeran Ranapati merasa selalu dimata-matai oleh telik sandi Mataram, maka ia memilih untuk menempuh perjalanan itu dengan berjalan kaki.

Ia memilih waktu berangkat pada wayah sepi uwong. Itupun tidak melalui regol depan maupun regol butulan istana itu, karena di sana selain ada pos penjagaan yang seantiasa dijaga prajurit pengawal, tentu kedua pintu gerbang itu selalu diamati oleh telik sandi Mataram.

Oleh karena itu, ia memilih meloncati tembok pagar istana yang cukup tinggi itu, lalu melekat di atasnya sambil mengamati keadaan di sekitarnya untuk beberapa saat. Setelah diamatinya, ternyata tidak ada yang mencurigakan, maka ia meloncat keluar.

Ia tidak ingin diketahui perjalanannya oleh siapa pun, karena itu ia memilih memakai pakaian orang kebanyakan. Dalam pakaian seperti itu, maka tidak akan ada orang yang memperhatikan. Ia seperti seorang pengembara yang tidak seorang pun menghiraukannya. Untuk mengatasi sengatan cahaya matahari yang terik, ia menggunakan topi bercaping lebar yang biasa dipakai petani kalau sedang menyiangi rumput di sawah.

Pangeran Ranapati yang sebenarnya bernama Ki Karaba Bodas itu pun sudah terbiasa berjalan tanpa harus menarik perhatian orang. Ia terus berjalan menjauhi Istana Panaraga, lalu menuju jalan desa, melintas di bulak persawahan, gumuk-gumuk kecil, lalu mulai melintasi jalan setapak yang jarang dirambah manusia.

Ia pun terus berjalan menyusuri jalan yang melalui pengenalannya menuju ke perguruan Windu Jati. Ketika cahaya di langit timur mulai semburat merah, ia menghela nafas perlahan.

“Hampir fajar”katanya dalam hati. Namun Ki Karaba Bodas itu terus berjalan di sela-sela pepohonan hutan yang masih rapat. Semakin lama pepohonan itu semakin padat, dan ketika matahari muncul di sela-sela dedaunan ia semakin jauh meninggalkan Panaraga.

Di tepi sungai yang airnya mengalir jernih Ki Karaba Bodas berhenti sejenak, lalu duduk mencangkung di atas batu hitam yang agak lebar dan permukaannya datar. Ia ingin istirahat di sana. Ia membuka bekal nasi yang sempat dibawanya dari Istana Panaraga. Ia pun menikmati sarapan pagi itu sambil ditingkahi gemercik suara air dan burung-burung hutan yang memperdengarkan suaranya yang merdu.

Setelah selesai dengan santap paginya itu, tiba-tiba rasa kantuk telah menyerangnya. Ia pun membaringkan tubuhnya untuk meluruskan badan di atas bebatuan itu. Udara yang sejuk itu telah membuai matanya. Apalagi dengan perutnya yang baru terisi makanan, membuat kegiatan darah terserap ke perut untuk mengolah makanan itu menjadi sari-sari pati tenaga, untuk kemudian disalurkan ke seluruh tubuh. Suasana yang hening dan sejuk itu membuatnya menguap. Ia lalu mengucak-ngucak matanya, dan Ki Karaba Bodas pun terpelanting ke dalam dunia mimpinya.

Namun betapa nyenyaknya pun ia tertidur, Ki Karaba Bodas segera terbangun ketika didengarnya desir halus di sebelahnya. Ia terperanjat ketika terdengar auman keras di sebelahnya, sebuah benda besar meluncur ke arahnya dengan kuku-kuku tajam terjulur ke arahnya. Segera saja ia berguling ke samping dan binatang besar yang mengaum dan mencoba menerkamnya tadi adalah seekor harimau. Harimau itu menggeram ketika menyadari bahwa mangsanya bisa menghindar dari serangannya yang mematikan itu.

Ki Karaba Bodas segera bersiaga. Ia termangu sejenak. Seandainya ia terlambat sedikit saja maka harimau besar itu bisa mengoyak-ngoyak habis tubuhnya. Ia bergerak menyamping ketika harimau itu menerjang dengan sekuat tenaganya. Agaknya harimau itu tengah lapar, sehingga ia sudah tidak memilih lagi dalam mencari mangsanya. Manusia pun hendak diterkamnya.

Ketika harimau itu menyambar di sampingnya, Ki Karaba Bodas segera menerjang dengan sebuah tendangan yang kuat mengenai tulang rusuknya. Harimau itu menggeram hebat lalu membalikkan badannya. Ia berpikir bahwa Ki Karaba Bodas adalah mangsa yang dapat dengan mudah disantapnya, namun ternyata ia salah menduga.

Dengan cepat harimau itu meloncat lagi lalu menyambar dengan kedua kaki depannya, dengan menjulurkan kuku-kukunya keluar dari selaput kakinya itu. Ki Karaba Bodas kembali meloncat ke samping, lalu menangkap kaki kanan harimau itu, menariknya kuat-kuat lalu membantingnya di atas batu tempatnya berbaring tadi.

Harimau itu mengaum hebat, namun agaknya ia telah menjadi jera. Kena dua kali serangan Ki Karaba Bodas yang sempat menyakitinya, harimau itu langsung kuncup hatinya. Ia pun menggeram kecil lalu mencoba melarikan diri. Ki Karaba Bodas membiarkan harimau itu masuk ke dalam semak-semak lalu lari ke dalam hutan yang lebih dalam untuk mencari mangsa yang lain. Sejak itu ia mulai menyadari bahwa mahluk yang bernama manusia bukan sejenis santapan yang bisa diterkamnya dengan mudah.

Ki Karaba Bodas berdiri termangu-mangu sejenak, namun tiba-tiba terdengar tepuk tangan yang cukup keras dari balik semak-semak. Ki Karaba Bodas berbalik dan bersiaga.

“Aku, Ki Karaba Bodas” kata orang yang bertepuk tangan tadi.

“Siapa kau?” katanya.”Keluarlah”

Dua buah tangan menguak semak-semak itu dan muncullah sesosok tubuh dari semak-semak itu.

“Oo kau, adi Gondang Legi”

“Iya kakang Karaba Bodas”jawab lawan bicaranya.”Sebenarnya aku tadi sudah hampir melempar harimau itu dengan pisau belatiku. Tapi kulihat kakang sudah terbangun, jadi aku hanya menyaksikan betapa dua pukulan yang kuat sudah membuat raja hutan itu menjadi jera” kata Ki Gondang Legi.

“Kenapa kau berada di sini”tanya Ki Karaba Bodas.

“Aku kebetulan melintas kakang” kata Ki Gondang Legi.

“He? Bukankah kau dua pekan lalu pergi ke Mataram berempat dengan tiga saudara perguruanmu, kenapa kau kembali sendiri”kata Ki Karaba Bodas.

“Kami mendapat musibah, kakang”kata Ki Gondang Legi.

“He? Musibah bagaimana?”tanya Ki Karaba Bodas dengan nada tinggi.

“Ketika kami telah selesai menjajagi kekuatan Mataram, kami menyeberangi Kali Praga untuk melihat keadaan terakhir di Tanah Perdikan Menoreh sebelum kembali ke Panaraga. Kami bertemu dan bertempur dengan prajurit Mataram. Kami berhasil dikalahkan. Kakang Bargas dan Bergawa berhasil dilumpuhkan, kakang Tanda Rumpil tewas dan aku berhasil melarikan diri” kata Gondang Legi.

“Jadi tugas kalian gagal, he?” kata Ki Karaba Bodas.

“Sebenarnya tugas kami tidak gagal sama sekali, karena semua keterangan tentang kekuatan Mataram sudah berhasil diketahui oleh kakang Bargas dan Bergawa” kata Ki Gondang Legi lagi.

“Sekarang mana catatan tentang kekuatan pasukan Mataram itu?”tanya Ki Karaba Bodas.

“Catatan itu ada pada kakang Bargas dan kakang Bergawa” kata Ki Gondang Legi.

“Namun untunglah aku sudah sempat menyalinnya, sehingga akupun mempunyai catatan yang hampir serupa” tutur Ki Gondang Legi, sambil menepuk kampilnya yang diselipkan di pinggangnya. Maksudnya, ia telah menyimpan catatan itu dalam kampilnya itu.

“Dan kedua kakak seperguruanmu itu berhasil dilumpuhkan oleh seorang prajurit Mataram?”tanya Ki Karaba Bodas dengan geram.

“Iya. Keduanya berhasil dilumpuhkan oleh prajurit yang juga mempunyai ciri-ciri aliran perguruan Windu Jati”

“He? Apakah ada saudara seperguruanmu yang mempunyai ciri-ciri perguruan Windu jati?” tanya Ki Karaba Bodas.

“Boleh dibilang iya, boleh dibilang tidak” kata Gondang Legi.

“He? Iya dan tidak, maksudmu bagaimana?” tanya Ki Karaba Bodas sampai terheran-heran.

“Aku juga heran, kenapa orang itu bisa mempunyai ilmu dari aliran perguruan Windu Jati. Orang itu bukan orang yang berguru pada guruku. Aku tidak tahu ia belajar dari siapa lagi yang mempunyai aliran perguruan Windu Jati” kata Ki Gondang Legi.

“Apakah orang itu juga bersenjata cambuk seperti kalian?” tanya Ki Karaba Bodas.

“Iya ilmu orang itu, sangat persis dengan ilmu perguruan kami. Ia bahkan mempunyai ilmu membelah diri seperti kakang Bargas dan Bergawa. Aji Kakang Kawah Adi Ari-ari,” kata Ki Gondang Legi.

“He? Prajurit itu juga bisa Aji Kakang Kawah Adi Ari-ari?”tanya Ki Karaba Bodas.

“Iya”kata Ki Gondang Legi.

“Lalu sekarang apa rencanamu?”tanya Ki Karaba Bodas.

“Aku akan menghadap guru”kata Ki Gondang Legi.

“Baik. Kalau begitu aku pergi bersamamu. Kedatanganku kemari memang untuk menemui gurumu, Kiai Cambuk Petir.” kata Ki Karaba Bodas.

“Marilah kita lanjutkan perjalanan”kata Ki Gondang Legi.

Demikianlah mereka berdua pun melanjutkan perjalanan. Dalam perjalanan itu mereka bertukar ceritera tentang pengalaman mereka masing-masing selama mereka tidak bertemu.

Dalam pada itu, di Tanah Perdikan Menoreh Ki Tumenggung Agung Jaya Santika telah mulai kembali ke barak pasukan khusus. Di depan para prajuritnya ia menceriterakan pengalamannya ketika diwisuda sebagai seorang tumenggung bersama empat puluh orang lainnya, yang mendapat kenaikan pangkat termasuk para demang yang telah mengabdikan dirinya bagi kemajuan Mataram.

Ki Tumenggung Agung Jaya Santika juga menceriterakan betapa ia merasa sangat terkejut ketika diumumkan bahwa pangkatnya dinaikkan menjadi tumenggung, padahal semula yang ia dengar pangkatnya hanya akan dinaikkan setingkat menjadi seorang panji.

“Aku sangat bersyukur atas kenaikan pangkatku ini. Hal itu menunjukkan bahwa para pimpinan kita tidak menutup mata atas apa yang kita capai,” katanya dengan nada rendah.

Memang Ki Agung Jaya Santika adalah seorang yang bersifat rendah hati. Ia tidak pernah mengeluh ketika jabatannya, lama sekali tidak bergeraksebagai seorang lurah prajurit.

Oleh karena itu” katanya ”aku ingin agar kalian juga mengabdikan diri kalian sesuai dengan bidang kehidupan yang kalian pilih yakni sebagai prajurit.”

“Jika kalian mengabdikan diri secara sungguh-sungguh, maka kalian akan mendapatkan anugerah yang sesuai dengan jiwa pengabdian kalian itu. Kalian harus berjuang untuk menegakkan kerajaan Mataram, sehingga negeri ini bisa menjadi negeri yang gemah ripah loh jinawi tata tenteram kerta raharja” kata Ki Tumenggung Jaya Santika.

“Sebagai seorang prajurit tugas kalian adalah menegakkan unsur tata tenteram di negeri ini. Jika tata tenteram itu sudah terwujud, maka unsur gemah ripah loh jinawi dan kerta raharja itu akan terwujud”katanya lagi.

“Jadi unsur tata tenteram yang menjadi tugas kalian untuk menegakkannya, menjadi penentu bagi penegakan segala gegayuhan pimpinan kita dan gegayuhan masyarakat. Dengan tata tenteram petani bisa menanam padi dengan tenang, para pedagang bisa berniaga tanpa gangguan. Sehingga pada akhirnya masyarakat bisa hidup tenang dan terpenuhi segala yang menjadi kebutuhannya.”kata Ki Tumenggung Agung Jaya Santika.

“Saya ingin menutup sesorah singkat saya ini dengan kata: Hidup Mataram. Marilah kita teriakkan dengan bersemangat: Hidup Mataram”kata Ki Tumenggung Agung Jaya Santika mengakhiri sesorahnya. Ia berteriak Hidup Mataram sambil tinjunya memukul langit.

“Hidup Mataram. Hidup Mataram. Hidup Mataram”serentak seluruh prajurit di barak Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh berteriak membahana, seolah-oleh hendak mengguncangkan langit, menggetarkan bumi.

Para prajurit yang termasuk dalam kesatuan pasukan khusus itu pun kemudian membubarkan diri dan melaksanakan tugas masing-masing. Yang pergi berlatih mengikuti latihan dengan penuh semangat, yang melaksanakan pembangunan armada laut di tepian Kali Praga pun melaksanakan tugasnya dengan penuh pengabdian.

Semangat mereka terbakar dan selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk kemajuan Mataram. Agaknya tradisi baru yang dibangun Ki Tumenggung Agung Jaya Santika itu diperolehnya ketika saat wisuda Panembahan Hanyakrawati juga menutup sesorahnya dengan kata-kata itu: Hidup Mataram.

Rupanya tradisi itu dengan cepat menjalar ke lingkungan prajurit yang lebih luas.

Dalam pada itu, setelah Panglima Wira Tamtama Ki Prabayudha menyerahkan jabatannya kepada Ki Rangga Sabungsari, maka iapun berpesan kepada seluruh prajurit di wilayah Selatan yang bermarkas di Jati Anom untuk ikut menjaga ketenteraman masyarakat di sekitarnya.

“Memang selama ini tidak atau boleh dikatakan jarang terjadi gangguan keamanan di wilayah kita di Selatan ini. Karena itu kepada Ki Rangga Sabungsari dan segenap jajarannya, saya perintahkan untuk tetap memelihara dan meningkatkan keamanan di daerah ini”kata Ki Prabayudha yang kini menjadi Panglima Wira Tamtama Mataram.

“Mulai besok aku akan bertugas di Kotaraja sesuai dengan jabatanku sebagai Panglima Wira Tamtama. Karena itu, aku meminta dengan amat sangat agar kalian semua prajurit Mataram di wilayah Selatan ini tetap melaksanakan perintah yang ditugaskan kepada kalian, seperti sebagaimana kalian melaksanakan perintahku. Kalian jagalah keutuhan dan rasa kebersamaan di antara kalian, sehingga wilayah Selatan ini bisa menjadi contoh bagi pasukan Mataram secara keseluruhan”kata Ki Tumenggung Prabayudha dalam sesorah singkatnya.

Setelah menyampaikan sesorahnya dan menyerahkan jabatannya kepada Ki Rangga Sabungsari, maka Ki Prabayudha berpamitan untuk menuju Kotaraja pada keesokan harinya.

Sebelum berangkat ke Kotaraja, pada sore harinya Ki Prabayudha dan istrinya menyempatkan diri mampir ke padepokan kecil peninggalan Kiai Gringsing. Namun pamannya Ki Widura yang sekarang memimpin padepokan kecil itu sedang ke rumahnya di Banyu Asri, yang terletak tidak jauh dari Jati Anom. Sedangkan yang ada di padepokan itu adalah Wira Sanjaya dan temannya putera Ki Demang Jati Anom dan para cantrik yang sedang tenggelam dalam kesibukannya.

“Kemanakah kakekmu, Wira Sanjaya?”tanya Ki Prabayudha kepada anaknya itu.

“Kakek sedang ke Banyu Asri, ayah. Karena kemarin ada utusan yang mengatakan nenek sedang sakit”kata Wira Sanjaya.

“Baiklah ayah dan ibumu akan segera ke Banyu Asri untuk menengok kakek dan nenekmu, sekalian ayah berpamitan karena mulai besok ayah harus bertugas ke Kotaraja”kata Ki Prabayudha.

“Ayah dan ibu ke Kotaraja? Berapa lama ayah?”tanya Wira Sanjaya.

“Mulai besok ayah bertugas sebagai Panglima Wira Tamtama, jadi ayah akan seterusnya berada di Kotaraja. Untuk sementara Wira tetap di padepokan ini, sampai kau tuntas menuntut ilmu dari kakekmu”kata Ki Prabayudha.

“Apakah aku boleh ikut ke Kotaraja ayah?”tanya Wira Sanjaya.

“Tentu. Tentu kau boleh ikut ke Kotaraja, setelah kau tuntas menyadap ilmu di padepokan ini. Kau pun boleh datang ke Tanah Perdikan Menoreh, karena di sana ada pamanmu Agung Sedayu yang kini mendapat gelar kekancingan Ki Tumenggung Agung Jaya Santika.” kata Ki Prabayudha.

“He? Paman Agung Sedayu menjadi tumenggung? Luar biasa” kata Wira Sanjaya.

”Iya. Pamanmu sekarang sudah menjadi tumenggung. Namun ia masih berkedudukan di Tanah Perdikan Menoreh” kata Ki Tumenggung Prabayudha.

“Wira, kau harus belajar dan berlatih dengan sungguh-sungguh agar kau dapat mewarisi ilmu olah kanuragan aliran perguruan Jati Kencana dari kakekmu Ki Sadewa dan sekaligus ilmu olah kanuragan dari perguruan Orang Bercambuk peninggalan Kiai Gringsing”

“Baik ayah. Aku akan melaksanakan pesan ayah itu dengan sungguh-sungguh”kata Wira Sanjaya”Aku mendoakan ayah dan ibu selamat dalam perjalanan ke Kotaraja dan berhasil dalam melaksanakan tugas ayah yang baru.”.

“Baiklah Wira Sanjaya. Terima kasih atas doamu. Jaga dirimu baik-baik. Aku dan ibumu segera berangkat ke Banyu Asri”kata Ki Tumenggung Prabayudha lagi.

“Wira jagalah makanan, agar jangan sampai kau sakit karena terlambat makan”kata Nyi Tumenggung Prabayudha.

Demikianlah Ki Prabayudha dan istrinya segera berderap menunggangi kuda masing-masing menuju ke Banyu Asri. Sebagai puteri seorang prajurit, ternyata Nyi Prabayudha pun terampil untuk mengendarai kuda.

Tidak berapa lama mereka sampai di Banyu Asri dan bertemu dengan Ki Widura dan Nyi Widura. Mereka menghentikan kudanya di depan regol halaman dan menuntunnya memasuki halaman rumah itu.

“Marilah anakmas sekalian, naik ke pendapa”kata Ki Widura.

“Terima kasih, paman”kata Ki Prabayudha dan Nyi Prabayudha.

Mereka lalu naik ke pendapa dan duduk di atas tikar pandan yang digelar di tengah ruangan.

“Apakabar paman? Sakit apakah bibi?”tanya Nyi Prabayudha.

“Kabar baik anakmas. Bibimu sakit biasa. Kalau sudah seumur-umur kami ini memang sebentar-sebentar sakit, paling-paling masuk angin”kata Ki Widura.

“Syukurlah kalau hanya sakit masuk angin saja, tidak parah-parah sekali. Semoga cepat sembuh. Bolehkah aku menengoknya ke dalam paman”tanya Nyi Prabayudha sambil berjalan masuk ke ruangan dalam.

Ki Widura hanya tertawa saja.”Syukurlah berkat doa anakmas berdua, bibimu sudah sembuh”

Nyi Prabayudha masuk ke ruangan dalam, tidak ditemukannya bibinya itu di dalam biliknya. Ia terus berjalan ke ruangan belakang, ternyata bibinya sedang di dapur menjerang air dan memotong-motong kue basah.

“Wah bibi sedang membuat apa?”tanya Nyi Prabayudha.

“Oo nyimas. Aku sedang menjerang air untuk membuat wedang jahe dan memotong juadah ini. Mari silakan duduk saja di ruang depan.”.

“Biarlah aku membantu bibi di sini”kata Nyi Prabayudha”apakah bibi sudah sembuh?”.

“Aku sudah sembuh nyimas”kata Nyi Widura.

“Syukurlah bibi sudah sembuh”kata Nyi Prabayudha.

Sementara itu di ruangan pendapa, Ki Widura dan Ki Prabayudha berbincang berdua.

“Angin apakah kiranya yang membawa anakmas sekalian datang ke gubuk pamanmu ini”tanya Ki Widura.

“Aku datang kemari, karena mulai besok aku harus ke Kotaraja, paman”kata Ki Prabayudha.

“Berapa lamakah anakmas akan ke Kotaraja”tanya Ki Widura lagi.

“Mungkin dalam waktu yang cukup lama, paman”jawabnya pula.

“Maksud anakmas, anakmas akan pindah ke Kotaraja?”tanya Ki Widura lagi.

“Iya paman. Beberapa hari yang lalu aku mendapat panggilan ke Kotaraja. Ternyata aku diwisuda menjadi Panglima Wira Tamtama, suatu jabatan yang kosong sejak ditinggalkan oleh Ki Gde Pemanahan pada zaman Pajang dulu.”jawab Ki Prabayudha.

”Wah syukurlah. Aku sangat bersyukur dan berbangga hati anakmas yang kemanakanku mendapat kehormatan menjadi Panglima Wira Tamtama”kata Ki Widura dengan wajah tulus.

“Kali ini kebanggaan paman berlipat dua”kata Ki Prabayudha.

“Kenapa ngger?”tanya Ki Widura.

“Karena kemanakan terkasih paman yang lain juga mendapat anugerah menjadi tumenggung”kata Ki Prabayudha.

“He? Apakah maksudmu Agung Sedayu”tanya Ki Widura setengah tak percaya.

“Bukan. Bukan Agung Sedayu paman. Tapi Tumenggung Jaya Santika”kata Ki Tumenggung Prabayudha sambil mengulum senyumnya yang hampir meledak menjadi tawa.

“Siapakah Tumenggung Jaya Santika itu ngger? Anakmas sudah membuatku bingung. Rasanya aku tidak mempunyai kemanakan bernama Jaya Santika”katanya sambil mengernyitkan alisnya yang sudah berwarna putih semua.

“Hahaha. Agung Sedayu itulah sekarang yang bernama Tumenggung Jaya Santika paman. Adi Agung Sedayu mendapat gelar kekancingan Ki Tumenggung Jaya Santika. Lengkapnya Ki Tumenggung Agung Jaya Santika”kata Ki Tumenggung Prabayudha sambil tertawa lebar.

“Oo syukurlah. Aku menjadi semakin berbangga dengan keberhasilan kalian di bidang keprajuritan. Kalian berdua jauh melebihi tingkat kepangkatanku yang hanya mentok sebagai seorang rangga. Meskipun orang-orang lebih akrab menyebutku sebagai Senapati Widura.”katanya.

“Iya paman. Keberhasilan paman itulah yang mendorong kami untuk ikut maju. Meskipun pada saat awalnya, memang agak lambat bagi adi Agung Sedayu”kata Ki Prabayudha.

“Kalau anakmas Agung Sedayu mendapat gelar kekancingan Ki Tumenggung Agung Jaya Santika, gelar apakah yang anakmas peroleh?”tanya Ki Widura.

“Namaku berubah. Namaku menjadi Prabayudha. Ki Tumenggung Prabayudha, paman”jawab kemanakannya itu.

“Oo. Alangkah bahagianya kakang Sadewa, kalau mendengar bahwa kedua anaknya menjadi orang yang terpandang”kata Ki Widura.

Tanpa terasa air matanya menitik. Air mata haru. Untuk mengalihkan pembicaraan, Ki Prabayudha menanyakan kemajuan latihan dan ilmu olah kanuragan yang dicapai oleh anaknya Wira Sanjaya dan temannya, anak Ki Demang Jati Anom.

“Bagaimanakah kemajuan Wira Sanjaya dan kawannya itu paman?”tanya Ki Prabayudha.

“Mereka agaknya telah belajar dan berlatih dengan bersungguh-sungguh, anakmas”kata Ki Widura.”Wira Sanjaya agaknya sudah merambah ke dalam pengolahan tenaga cadangannya. Ia mendapat kemajuan yang cukup berarti pada usianya yang boleh dibilang masih sangat muda.”

“Apakah hal itu tidak membahayakan baginya paman?”tanya Ki Prabayudha.

“Tidak anakmas. Dengan selalu dalam pengawasanku, Wira Sanjaya sudah mampu mengatasi saat-saat tersulit dalam mencapai tenaga cadangannya. Kini ia tinggal memupuknya saja.”jawab Ki Widura.

“Atas seizin anakmas, aku akan menggembleng Wira Sanjaya dalam dua aliran perguruan yang berbeda yaitu perguruan Orang Bercambuk dan aliran perguruan Ki Sadewa yang sebenarnya bernama aliran Jati Kencana.”kata Ki Widura lagi.

“Baik paman. Hal itu akan baik sekali bagi Wira Sanjaya. Kebetulan aku sudah mendalami keduanya, namun tidak terjadi benturan ilmu di antara keduanya”kata Ki Prabayudha.

“Semoga aku berhasil melatih anak itu agar bisa menjadi generasi penerus yang mumpuni”kata Ki Widura.

“Iya paman. Aku titipkan pengasuhan anak itu kepada paman”kata Ki Prabayudha.

“Tentu saja anakmas. Wira Sanjaya juga adalah cucuku. Aku tetap mempunyai kepentingan agar Wira Sanjaya bisa menjadi anak yang membanggakan bagi orang tuanya, dan juga bagi gurunya.”kata Ki Widura lagi.

Demikianlah sambil berbincang, tak berapa lama Nyi Prabayudha mengeluarkan makanan dan minuman ke pendapa. Nyi Widura dan Nyi Prabayudha pun ikut bersimpuh di pendapa itu sambil mereka bercakap-cakap.

“Apakah anakmas Nyi Prabayudha tidak canggung mengendarai seekor kuda ke mari”tanya Nyi Widura.

“Aku sejak kecil sudah terbiasa berkuda, bibi”jawab Nyi Prabayudha.”Karena ayahku juga seorang prajurit pada zaman Pajang seperti paman Widura.”

“Oo. Syukurlah. Kalau aku sejak kecil sudah takut melihat kuda. Apalagi kalau harus menaikinya”kata Nyi Widura.

“Aku berani naik kuda, karena ayah memiliki kuda dan aku dilatihnya menunggang kuda itu. Mula-mula aku memang agak gamang, bibi. Seluruh badanku berkeringat dingin. Tetapi lama kelamaan, aku terbiasa dan tidak merasa takut lagi.”kata Nyi Prabayudha.

“Namun sekarang tenagaku tidak sekuat dulu lagi. Ketika mau naik ke atas punggung kuda tadi, aku harus dibantu oleh kakang”kata Nyi Prabayudha.

Demikianlah mereka berbincang-bincang cukup lama, karena sebagai sanak kadang telah lama mereka tidak bertemu. Ketika menjelang senja, Ki Prabayudha sekalian berpamitan untuk sekaligus berangkat ke Kotaraja pada keesokan harinya.

Pada keesokan harinya, Ki Prabayudha menyiapkan segala perlengkapan yang harus dibawanya ke Kotaraja. Sebuah kereta yang dihela dua ekor kuda telah disiapkan untuk membawa barang-barang milik pribadi yang harus dibawa ke Kotaraja. Nyi Prabayudha duduk di dalam kereta, sedangkan Ki Prabayudha duduk di sebelah sais. Sepuluh orang pengawal berkuda di depan kereta dan sepuluh orang lainnya berkuda di belakang kereta.

Sebenarnya Ki Prabayudha kurang suka bepergian mempergunakan kereta seperti itu. Namun karena dalam perjalanan ini ikut Nyi Prabayudha, maka ia tidak bisa menolak ketika Ki Rangga Sabungsari menyediakan sebuah kereta berkuda untuknya.

“Kalau kakangmbok juga harus berkuda, akan kasihan sekali kakang. Perjalanan ini cukup jauh”kata Ki Rangga Sabungsari berkilah.

Demikianlah setelah segala sesuatunya siap, Ki Rangga Sabungsari dan seluruh prajurit Mataram wilayah Selatan di Jati Anom memberi penghormatan sekali lagi. Matahari baru setinggi sepenggalah. Dan kereta berkuda itu berderap diiringi prajurit pengawal berkuda sepuluh orang di depan dan sepuluh orang di belakang.

Ketika matahari sudah hampir tergelincir di punggung bukit sebelah Barat, rombongan Ki Prabayudha dan pasukannya telah memasuki batas Kotaraja. Setiap orang yang melintas memperhatikan kereta berkuda dan para pengawalnya itu. Namun karena kereta cukup cepat berpacu, mereka tidak bisa melihat secara jelas siapakah yang menaiki kereta tersebut.

Ketika mendekati regol halaman Istana, kereta tersebut berjalan kian lambat. Lurah prajurit yang memimpin pasukan pengawal berkuda itu segera melapor kepada lurah prajurit jaga yang berada di regol.

“Silakan. Silakan langsung ke pendapa . Aku telah mendapat perintah untuk mengantarkan rombongan Panglima langsung ke depan pendapa”kata lurah prajurit itu.

Panglima Wira Tamtama Ki Prabayudha dan Nyi Prabayudha disambut oleh Pangeran Purbaya di depan pendapa Istana. Sedangkan pasukan pengawal berkudanya, menambatkan kuda masing-masing di tempat yang telah disediakan di halaman dalam di kiri kanan regol.

“Marilah Ki Prabayudha sekalian, naiklah ke pendapa”kata Pangeran Purbaya.

Mereka pun lalu duduk di atas sehelai tikar lebar yang digelar di pendapa itu. Pangeran Purbaya masuk sejenak ke ruang dalam Istana dan beberapa saat kemudian keluar lagi.

“Panembahan Hanyakrawati berkenan menerima kalian berdua di ruangan dalam”kata Pangeran Purbaya”marilah aku antarkan”

Mereka pun kemudian masuk ke ruangan dalam Istana Mataram yang bersih dan megah itu. Nyi Prabayudha yang belum pernah memasuki istana itu sempat memperhatikan pertamanan istana itu yang diatur rapi. Bunga berwarna-warna tumbuh di halaman istana, sehingga nampak asri. Di depan Istana itu tumbuh sepasang ringin kurung. Selebihnya lapangan rumput hijau yang membuat Istana itu nampak berwibawa.

Atap istana itu disangga oleh sejumlah pilar kokoh yang menambah kewibawaan Istana itu.

Di dalam pendapa istana, pada dinding kiri dipasang lukisan-lukisan besar yang indah. Seperti lukisan pemandangan, lukisan sekelompok kuda putih, dan agak ke sudut lukisan seorang wanita cantik dalam busana hijau seperti menari di atas alunan gelombang.

Pada dinding kanan dipasang gambar pendiri Mataram yaitu Ki Gde Pemanahan yang kemudian disebut Ki Gde Mataram, lalu di sebelahnya gambar Panembahan Senapati yang sebelumnya bergelar Senapati Ing Alaga. Dan di sebelahnya lagi gambar Panembahan Hanyakrawati.

“Marilah Nyi dan Ki Prabayudha, silakan masuk. Panembahan Hanyakrawati berkenan menerima kalian di ruangan dalam”sekali lagi Pangeran Purbaya mengingatkan mereka berdua yang masih tertegun menyaksikan Istana dan kelengkapannya.

Ternyata Panembahan Hanyakrawati berkenan menerima mereka berdua di ruangan khusus yang lebih kecil. Hanya orang-orang yang sangat penting saja diterima oleh Panembahan Hanyakrawati di ruangan itu. Panembahan Hanyakrawati sudah duduk di atas dampar kencana yang terdapat di dalam ruangan itu. Di sebelahnya terdapat sebuah dingklik kecil dan di depannya terhampar permadani tebal yang bergambarkan motif-motif sangat indah.

“Marilah Tumenggung Prabayudha sekalian, silakan masuk”kata Panembahan Hanyakrawati ketika Ki Prabayudha nampak ragu-ragu di depan pintu.

Ki Prabayudha dan Nyi lalu berjalan sambil berjongkok menuju ke permadani di depan dampar kencana. Sedangkan Pangeran Purbaya duduk di atas dingklik di samping Panembahan Hanyakrawati.

“Hamba berdua menyampaikan sembah pangabekti kepada Panembahan Hanyakrawati”kata Ki Prabayudha sambil menakupkan kedua tangannya di depan hidung. Istrinya pun melakukan hal yang sama.

“Terima kasih, Prabayudha sekalian, sembah pangabekti kalian aku terima. Bagaimana dengan keadaan kesehatan kalian berdua?”ujar Panembahan Hanyakrawati menerima pangabekti orang yang sangat dibanggakannya itu sambil bertanya.

“Berkat doa Panembahan, hamba dan keluarga dalam lindungan Yang Maha Agung”kata Ki Prabayudha.”hamba menghadap dan siap menerima tugas selanjutnya.”.

“Baiklah Prabayudha. Sebenarnya tugas yang aku bebankan kepadamu ini adalah tugas yang dahulu diemban oleh Eyang Gde Mataram, ketika masih menjabat petinggi Pajang. Tentunya kau masih ingat itu.”.

“Hamba Panembahan. Hamba masih ingat hal itu. Ketika hamba menghadapi Macan Kepatihan dahulu, beliau pernah datang ke Jati Anom sebagai Panglima Wira Tamtama”.

“Baiklah. Sekarang tugas Panglima Wira Tamtama itu yang harus kau jalani. Nanti Pangeran Purbaya akan menjelaskan secara rinci apa tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabmu. Secara umum dapat aku katakan bahwa di atas pundakmu aku bebankan untuk membuat pasukan Mataram menjadi pasukan yang kuat baik di darat maupun di laut. Tugas untuk menangani armada laut sebagian sudah ditangani oleh adikmu Agung Sedayu yang kuberi gelar kekancingan Jaya Santika. Nanti Jaya Santika akan sepenuhnya menangani armada laut, dan pasukan khusus akan berada di bawah kendalimu.”

“Sendika Dawuh Gusti Panembahan”kata Ki Prabayudha.

“Karena kau menjabat sebagai Panglima Wira Tamtama, maka untuk keluargamu aku sediakan rumah di sudut lapangan sebelah kanan. Nanti Pangeran Purbaya akan menunjukkan kepadamu”ujar Panembahan Hanyakrawati.

“Sendika dawuh Gusti Panembahan”kata Ki Prabayudha.

“Mungkin masih ada yang ingin kau tanyakan?”tanya Panembahan lagi.

“Hamba Gusti Panembahan, sudah tidak ada lagi yang hamba tanyakan”kata Ki Prabayudha.

“Nah kalau sudah tidak ada lagi, kau sudah boleh meninggalkan ruangan ini bersama Pangeran Purbaya”ujar Panembahan Hanyakrawati.

“Hamba Panembahan”kata Ki Prabayudha. Dengan berjalan mundur sambil berjongkok Ki Prabayudha sekalian meninggalkan ruangan itu didampingi oleh Pangeran Purbaya.

Pangeran Purbaya membawa mereka ke pendapa dan mereka duduk melingkar di atas permadani yang tergelar di sana.

“Nah Prabayudha, rumah dan segala kelengkapannya yang ada di sudut kanan lapangan memang disediakan untukmu sebagai Panglima Wira Tamtama. Nanti seorang lurah prajurit akan mengantarkanmu ke rumah itu.”kata Pangeran Purbaya.

“Baik Pangeran”kata Ki Prabayudha.

Pangeran Purbaya kemudian memanggil seorang lurah prajurit yang harus mengantarkan Ki Prabayudha ke rumah jabatannya yang baru itu. Lurah prajurit itu pun segera mengantarkan Ki Prabayudha dan rombongannya ke rumah jabatan yang akan ditempatinya di sudut kanan lapangan.

Rombongan kereta dan pasukan berkuda itu pun segera berbelok ke kanan ketika sampai di sudut lapangan dan memasuki regol besar yang pintunya terbuat dari kayu besi yang sangat kuat. Agaknya para penjaga regol itu sudah diberi tahu bahwa Ki Prabayudha akan memasuki gedung itu sehingga mereka sudah membuka regolnya sebelum rombongan Ki Prabayudha tiba.

Nyi Prabayudha pun kemudian turun dari kereta, ketika kereta itu sudah berhenti di depan pendapa yang berdinding setinggi setengah badan. Begitu pula Ki Prabayudha. Nyi Prabayudha sempat terlongong-longong di depan pendapa.

Ia melihat berkeliling. Ternyata rumah jabatan itu sedemikian besarnya. Begitu memasuki regol depan yang berpintu besar, ia melihat halaman depan rumah jabatan itu begitu luas. Pertamanan di halaman depan itu demikian asrinya. Berbagai macam bunga berwarna-warni ditanam di sana, seindah taman yang ada di Istana.

Di kiri kanan halaman rumah jabatan itu ditanami dengan beberapa pohon buah-buahan seperti pohon mangga, jambu, sawo dan rambutan. Selain buahnya yang ranum-ranum, daunnya pun cukup lebat sehingga menjadi tempat yang teduh untuk ngiyup dari sengatan sinar matahari yang menggatalkan kulit.

Ki Prabayudha sekalian pun kemudian beranjak ke rumah induk. Di dalam rumah induk itu terdapat pringgitan. Lalu di belakangnya terdapat tiga sentong yang berjajar. Lalu di kiri-kanan sentong itu terdapat gandhok. Di antara sentong dan gandhok itu dipisahkan oleh longkangan yang cukup lebar.

Di belakang gandhok terdapat dapur dan pakiwan. Ternyata di di belakang pakiwan terdapat halaman yang masih cukup luas. Di sudut kanan halaman belakang itu terdapat sebuah istal atau kandang kuda yang mampu menampung dua puluh lima ekor kuda. Sedangkan di sudut kiri, di belakang dapur dan pakiwan terdapat beberapa petak rumah kecil yang dipergunakan abdi dalem yang mengurus rumah tersebut seperti juru taman, tukang masak, juru tebah, dan pembantu khusus lainnya.

Setelah berkeliling melihat-lihat rumah dan kelengkapannya, Ki Prabayudha sekalian kemudian kembali ke pendapa. Mereka duduk melingkar di atas permadani lebar yang terdapat di tengah pendapa itu, didampingi oleh lurah prajurit yang mengantarkan mereka ke rumah itu.

“Baiklah, Kangjeng Panglima. Tugas hamba mengantarkan Tuanku telah selesai. Apakah masih ada yang Tuanku perlukan?”tanya lurah prajurit tadi.

“Ki Lurah, aku minta agar sentong ketiga kau ubah menjadi sanggarku. Mulai besok kau sudah bisa mengerjakannya. Sedangkan barang-barang yang kubawa dengan kereta dari Jati Anom kau letakkan dulu di sentong nomor dua” kata Ki Prabayudha.

Demikianlah lurah prajurit tadi memerintahkan prajurit yang mengiringinya untuk menurunkan barang-barang yang dibawa dengan kereta dari Jati Anom dan memasukkannya ke dalam sentong nomor dua.

Sementara itu, langit sudah mulai gelap karena matahari sudah menyelesaikan tugasnya untuk menerangi langit di atas Mataram. Matahari itu bertugas menyinari bumi makin ke barat dan ke barat lagi, sampai akhirnya esok pagi muncul lagi dari ufuk timur.

Beberapa abdi dalem segera menyalakan lampu teplok dan obor yang berada di halaman rumah jabatan Kangjeng Panglima Wira Tamtama Ki Prabayudha. Sedangkan di pendapa yang cukup luas itu, abdi dalem menyalakan lampu gantung berukir yang masih menjadi barang mewah dan hanya terdapat di rumah orang-orang kaya atau pejabat pemerintah tertentu.

Sementara itu, di dapur para abdi dalem lainnya sedang sibuk menyiapkan makan malam bagi Ki Prabayudha sekalian, para prajurit yang mengawal dari Jati Anom dan persiapan seandainya ada tamu yang datang bertandang ke rumah jabatan Kangjeng Panglima.

Benar saja, setelah selesai bersantap malam, satu dua tamu mulai berdatangan ke rumah jabatan Kangjeng Panglima Wira Tamtama Prabayudha. Kebanyakan mereka adalah para pejabat pemerintahan dan pejabat keprajuritan di Mataram.

Untunglah para abdi dalem sudah terbiasa menghadapi kesibukan demikian, sehingga tidak sampai kewalahan menyiapkan makanan kecil dan minuman berupa wedang jahe serta wedang sere.

Akhirnya setelah menyampaikan selamat datang dan selamat bertugas kepada Ki Tumenggung Prabayudha, satu persatu para tamu itu berpamitan dan mengundurkan diri dari rumah jabatan Kangjeng Panglima Wira Tamtama Prabayudha.

Ketika mereka sudah mengundurkan diri dari rumah jabatan Kangjeng Panglima Wira Tamtama Prabayudha, maka tinggal Ki Prabayudha sekalian dan lurah prajurit tadi yang masih berada di pendapa. Ternyata lurah prajurit tadi memang bertugas sebagai pimpinan jaga di rumah jabatan itu.

Rumah jabatan yang begitu besar itu terasa mulai sepi dan kegiatan di malam itu mulai diambil alih oleh suara bilalang, jangkrik dan binatang malam lainnya seperti burung hantu, burung bence dan burung kedasih.

Kangjeng Panglima Wira Tamtama Prabayudha pun kemudian berangkat ke peraduannya di ruang sentong pertama. Sentong itu berukuran cukup besar. Di dinding sisi timur sentong itu terdapat sebuah jendela yang agak lebar. Kemudian di sisi selatan dinding sentong itu tergantung sebuah lukisan indah yang menggambarkan pemandangan alam persawahan.

Di tengah ruangan itu terdapat sebuah amben besar, di sebelahnya sebuah meja kecil dan di depan meja itu terdapat dingklik kecil. Meja dan dingklik itu terbuat dari kayu jati berukir halus. Dua buah lampu teplok terletak di dinding di sebelah pintu sentong yang terdapat di sisi barat dan di dinding di atas meja kecil itu.

Ki Prabayudha pun kemudian menutup pintu sentong dan berbaring di sebelah istrinya.

“Aku tidak mengira kita akan mendapat rumah sebesar ini kakang”kata Nyi Prabayudha sambil tersenyum dan menoleh ke suaminya.

“Iya Nyai. Aku tidak menyangka akan mendapat anugerah sebesar ini.”jawab Ki Prabayudha.”ini semua berkat doamu dan restu Yang Maha Agung”

“Oh ya, aku belum menunaikan kewajibanku kepada Yang Maha Agung”kata Ki Prabayudha sambil bangkit pelan-pelan dari tempat tidurnya.

Ia lalu pergi ke pakiwan khusus yang ada di dalam sentong itu, sesuci, lalu menunaikan kewajibannya kepada Yang Maha Agung. Dalam doanya ia memanjatkan puji syukur kepada Yang Maha Agung atas segala berkah yang diterimanya. Ia juga memanjatkan doa agar semua orang yang dikasihinya, baik yang masih ada maupun yang telah tiada, diberi kesejahteraan di dunia dan akhirat. Secara khusus ia mendoakan semoga kedua orangnya diampuni segala dosanya, sebagaimana mereka mengasihi ia ketika masih kecil.

Setelah selesai memanjatkan doa, ia kembali berbaring di samping istrinya. Namun istrinya itu sudah tertidur. Sebuah senyum tersimpul dari wajahnya. Ia menjadi gemas, lalu memegang hidungnya yang bangir. Istrinya lalu memeluknya. Mereka lalu terbuai ke alam mimpi.

Malam yang sejuk itu ternyata tidak hanya membuai Ki Prabayudha sekalian ke alam mimpi. Namun alam mimpi itu ternyata menjadi milik semua orang yang sempat terlelap tidur. Alam mimpi yang timbul ketika hari tersaput gelapnya malam, juga menjadi milik Kangjeng Raden Tumenggung Jaya Santika dan keluarga kecilnya.

Ki Agung Sedayu semula kurang sreg dengan sebutan itu. Sebagaimana dengan sifatnya yang sederhana dan tidak suka berlebih-lebihan dalam sikapnya. Namun ternyata orang-orang di barak, anggota pasukan khususnya, tidak bisa lagi asal menyebut nama lamanya.

Sesuai dengan paugeran dan unggah-ungguh yang berlaku di dalam dunia keprajuritan, maka sebutan dalam serat kekancingan itulah yang menjadi sebutan sekaligus kepangkatan bagi penyandang gelar itu. Karena itu, akhirnya dengan ikhlas ia harus menerima kenyataan bahwa namanya kini berubah menjadi Kangjeng Raden Tumenggung Jaya Santika. Semula nama itu menjadi sangat asing bagi telinganya. Namun lama kelamaan, ia harus menyesuaikan diri dengan sebutan dan jabatannya itu.

“Panggil saja aku Agung Sedayu”kata Kangjeng Raden Tumenggung Jaya Santika kepada Ki Lurah Darma Samudra dan Ki Lurah Suprapta yang selalu dekat dengannya. Ia mengatakan kepada kedua lurahnya itu karena merasa kikuk mendengar panggilan yang terasa asing di telinganya.

“Ampun, Kangjeng Raden Tumenggung Jaya Santika, kami bisa saja memanggil panjenengan dengan Ki Agung Sedayu. Tetapi dengan demikian kami melanggar paugeran dan unggah-ungguh dalam tata keprajuritan, karena nama gelar kekancingan itu adalah anugerah dari Ingkang Sinuhun Sampeyan Dalem Panembahan Hanyakrawati”kata Ki Lurah Darma Samudra.

Akhirnya Agung Sedayu, tidak bisa tidak, harus menerima kenyataan bahwa namanya berubah menjadi Kangjeng Raden Tumenggung Jaya Santika. Namun ia tetap bersikeras agar namanya cukup dipanggil Ki Tumenggung Jaya Santika saja. Tanpa embel-embel kangjeng raden tumenggung.

”Baiklah Ki Tumenggung Jaya Santika”kata kedua lurah itu.

Agung Sedayu yang berjiwa sederhana dan tidak pernah bermimpi menjadi prajurit. Bahkan ia memasuki bidang keprajuritan itu pun dengan cara setengah dipaksa oleh kakaknya. Untara.

Ketika pada akhirnya ia mencoba memasuki dunia keprajuritan, ia pun sempat mengalami pergolakan batin dan sempat beberapa saat mengundurkan diri. Namun atas dorongan Panembahan Senapati yang memberinya banyak kesempatan, karena melihat kemampuan, jasa-jasa dan pengabdiannya yang luar biasa kepada Mataram, maka Agung Sedayu tidak dapat menolak takdirnya sebagai seorang prajurit.

Akhirnya dengan mendapat bimbingan dari Ki Lurah Branjangan, Agung Sedayu bisa menyesuaikan diri dengan dunia keprajuritan yang semula dirasanya kurang sesuai dengan jiwanya yang sederhana dan tidak bermimpi yang muluk-muluk.

Ia sama sekali tidak pernah bermimpi menjadi prajurit di tingkat yang paling rendah sekali pun, apalagi untuk menjadi seorang tumenggung, benar-benar membuatnya sempat menghadapi goncangan jiwani.

Atas saran Ki Jayaraga maka sebagai suatu tradisi di tlatah ini, jika seseorang memberi nama atau mengganti nama, tentu membuat sekadar selametan. Namun ternyata selametan untuk seorang kangjeng raden tumenggung, tidak bisa sesederhana dan sekadar membuat jenang merah putih saja. Karena itu menyangkut pasukannya satu barak.

Kalau mengikuti kata hatinya, ingin rasanya Ki Agung Sedayu yang kini berubah nama menjadi Kangjeng Raden Tumenggung Jaya Santika itu hanya sekadar membuat jenang merah putih saja. Itu sudah cukup baginya.

Ingin rasanya ia mendobrak tradisi yang dianggapnya terlalu berlebihan itu. Namun ia tidak berdaya. Meskipun ia sanggup mengalahkan lawan-lawan tangguh seperti Kakang Panji, Ki Ajar Tal Pitu dan lainnya, namun ia tak berdaya menghadapi perubahan namanya sendiri yang datang dengan sekonyong-konyong.

Tadinya Ki Agung Sedayu menganggap bahwa dengan kenaikan pangkatnya menjadi tumenggung, lalu selesai dengan begitu saja. Ia dipanggil Tumenggung Agung Sedayu dan segalanya mengalir seperti air kali Praga yang sudah ratusan bahkan ribuan tahun mengalir ke laut Selatan.

Namun ternyata aliran perubahan namanya itu, tidak sesederhana yang diperkirakan. Apalagi ia mendapat bukan hanya sekadar gelar tumenggung, namun sebutannya menjadi kangjeng raden tumenggung. Kangjeng Raden Tumenggung Jaya Santika.

Ketika Ki Agung Sedayu mengatakan niatnya untuk mengadakan sekadar selametan kepada Ki Lurah Darma Samudra dan Ki Lurah Suprapta, kedua orang lurahnya itu hanya mengangguk-angguk dan menyatakan setuju. Namun mereka tidak mengatakan sesuatu.

Ia mengatakan kepada kedua lurah itu hendak pulang lebih awal hari itu dan agar menyiapkan jenang merah putih untuk didoakan bersama pada keesokan harinya.

Namun ia terperangah ketika datang ke barak pada keesokan harinya. Ternyata di sanggar utama barak pasukan khusus itu telah tersedia banyak makanan dan minuman, berupa gule, sate dan guling kambing beberapa ekor, penganan kecil, wedang jahe, wedang sere, dan tentu saja jenang merah putih sebanyak lima tanding. Jenang itu terdiri dari jenang merah, jenang putih, jenang merah putih, jenang putih merah dan jenang putih batu.

“Wah. Wah ada apa ini. Kenapa banyak sekali ada makanan”tanyanya kepada Ki Lurah Darma Samudra.

“Ampun Kangjeng Raden Tumenggung, seluruh prajurit di barak khusus ini mengadakan urunan untuk merayakan kegembiraan karena pimpinan kami mendapat anugerah luar biasa dari Ingkang Sinuhun Sampeyan Dalem”kata Ki Lurah Darma Samudra. Ki Lurah Suprapta yang berada di sebelahnya, mengangguk tanda setuju, lalu berkata.

“Kegembiraan Kangjeng Raden Tumenggung, adalah juga kegembiraan kami. Kenaikan pangkat dari seorang rangga menjadi seorang kangjeng raden tumenggung adalah suatu hal yang jarang terjadi. Walaupun secara sederhana, kami mencoba ikut merayakannya”kata Ki Lurah Suprapta.

Mendengar jawaban mereka, Kangjeng Raden Tumenggung Jaya Santika tidak dapat marah. Matanya menjadi berkaca-kaca. Terharu. Kalau ia tidak tahan-tahan, bisa saja uap air mengembun di pelupuk matanya, lalu meleleh menjadi butiran air. Air mata.

Tetapi ia bukan lagi Agung Sedayu tiga puluh tahun yang lalu, yang mudah menangis karena diganggu anak sebayanya. Karena dengan menguatkan hati ia tidak sampai menitikkan air mata.

“Wah. Wah. Aku berterima kasih atas kesediaan kalian membuat makanan sebanyak ini”kata Kangjeng Raden Tumenggung Jaya Santika, dengan mata haru. Namun Kangjeng Raden Tumenggung Jaya Santika terkejut ketika seseorang yang sangat dikenalnya, sambil tertawa lebar maju ke depan dan mengulurkan tangan memberi selamat.

“He? Ki Lurah ada di sini?”tanyanya dengan ada heran bercampur gembira.

“Iya. Kangjeng Raden Tumenggung Jaya Santika”kata orang itu, yang ternyata Ki Lurah Branjangan.”Aku kebetulan mampir. Agaknya aku mendapat rezeki yang berlimpah karena para prajurit sedang berpesta.

“Terima kasih Ki Lurah. Aku senang Ki Lurah Branjangan bisa hadir bersama kami di pagi hari yang cerah ini.”kata Kanjeng Raden Tumenggung Jaya Santika.

Mereka pun lalu membacakan doa bersama kemudian menikmati hidangan itu. Agaknya Ki Lurah Darma Samudra dan Ki Lurah Suprapta tidak melupakan keluarga Kangjeng Raden Tumenggung Jaya Santika yang berada di rumah dan yang berada di rumah Ki Gde Menoreh. Mereka mengirim pula makanan ke kedua rumah tersebut, yang disambut baik oleh Ki Gde Menoreh maupun Nyi Tumenggung Jaya Santika dengan gembira.

Bersambung ke Buku 403

—oo0oo—

4 Comments (+add yours?)

  1. yasin
    Nov 20, 2012 @ 14:46:15

    sayang critanya tanggung.seumpama dilanjutkan sampai setidak2nya pemberontakan ponorogo kan gk bikin pembaca penasaran

    Reply

  2. Heru Pramono
    May 22, 2013 @ 16:12:20

    Pemberontakan di Ponorogo itu apa memang pernah ada ? Kalau Madiun memang pernah ada.

    Reply

  3. nanang
    Jun 05, 2014 @ 10:30:03

    Ceritanya terlalu cepat dan kasar..

    Reply

  4. Petrus Wismadi
    May 12, 2020 @ 10:24:27

    Saya sangat gembira dg cerita kelanjutan ADBM ini… Meskipun gaya bertuturnya sedikit berbeda, namun bisa dimaklumi… Dalam buku ini ada sedikit yg mengganggu, yaitu mengenai hubungan Adipati Jayaraga dan Pangeran Ranapati… Sebetulnya, siapakah yg lebih tua?… Kalau tidak salah, di buku terakhir ADBM (396), Jayaraga memanggil kakangmas kepada Ranapati, sedang di buku ini sebaliknya… Mohon penjelasannya… Terimakasih…

    Reply

Leave a reply to Petrus Wismadi Cancel reply